KOMPAS.com - Bentrokan terjadi antara warga dan aparat keamanan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri) dalam beberapa hari terakhir.
Konflik tersebut mencapai puncaknya pada Kamis (7/9/2023) ketika warga menghadang aparat gabungan yang akan mematok dan mengukur lahan.
Ini terjadi lantaran warga menolak adanya proyek pengembangan kawasan ekonomi bernama Rempang Eco City di wilayah tersebut.
Akibat adanya proyek itu, seluruh penduduk Pulau Rempang yang berjumlah sekitar 7.500 jiwa harus direlokasi.
Selain itu, proyek tersebut juga mengancam eksistensi 16 kampung adat Melayu yang ada di Pulau Rempang sejak 1834.
Lantas, apa itu proyek Rempang Eco City?
Dikutip dari laman Badan Pengusahaan (BP) Batam, Rempang Eco City merupakan salah satu daftar Program Strategis Nasional 2023.
Pembangunan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang disahkan pada 28 Agustus.
Proyek Rempang Eco City merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan Singapura dan Malaysia.
Proyek tersebut akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) dengan target investasi mencapai Rp 381 triliun pada 2080.
PT MEG merupakan rekan BP Batam dan Pemkot Batam.
Nantinya, perusahaan itu akan membantu pemerintah menarik investor asing dan lokal dalam pengembangan ekonomi di Pulau Rempang.
Untuk menggarap Rempang Eco City, PT MEG diberi lahan sekitar 17.000 hektar yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas.
Pemerintah juga menargetkan, pengembangan Rempang Eco City ini akan menyerap sekitar 306.000 tenaga kerja hingga 2080.
Baca juga: Komnas HAM Minta Polisi Setop Bersikap Represif ke Masyarakat Pulau Rempang, Batam
Kapolresta Barelang Kombes Nugroho Tri Nuryanto mengatakan, sebanyak 1.010 aparat gabungan dikerahkan untuk mengawal pengukuran dan pematokan lahan di Rempang.