Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syarif Ali
Dosen UPN Veteran Jakarta

Lulusan S 2 Administrasi Publik STIA LAN RI tahun 2005. Bekerja di Badan Kepegawaian Negara (BKN) 1985-2014. Menjadi Ketua Delegasi Indonesia Jepang-ASEAN for the 21 Century (1991), Anggota Delegasi ASEAN Compendium on Civil Service Performance Appraisal, Thailand (2007). Mengikuti workshop reformasi birokrasi di Korea (2010 dan 2011), ASEAN Case Study Workshop, Malaysia (2004), ASEAN Leadership, Thailand (2009), T & D Conference, Taiwan (2013), Senior Government Employee workshop, Jepang (2000), Comparative Study, Singapore (2010), dan Comparative Study on PM, Thailand (2008). LO dalam ACCSM Preparatory Meeting, Bandung 2007. Mutasi ke Kemenristek tahun 2014, menjadi Wakil Dekan Bidang Umum dan Keuangan FISIP UPN Veteran Jakarta. Melakukan penelitian dan PKM, menerbitkan jurnal nasional dan internasional.

Kepentingan Politik dan Kisruh Pegawai Honorer

Kompas.com - 24/07/2023, 12:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SENIN, 12 September 2022, lima hari setelah dilantik sebagai Menteri Pedayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Abdullah Azwar Anas, mengeluhkan modus kepala daerah dalam merekrut pegawai honorer untuk memenuhi kepentingan politik. Empat hari setelah itu, dia menyinggung pegawai honorer yang sudah diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN) meminta pindah ke kota atau ke Pulau Jawa.

Mantan Bupati Banyuwangi itu juga mengungkapkan keinginan nyeleneh tenaga honorer yang minta menjadi ASN tanpa mengikuti seleksi. Paling baru, pada 13 Juli 2023, dia curhat tentang fenomena pegawai titipan yang membuat tenaga honorer di kementerian/lembaga membludak.

Menurut saya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjadi awal kisruh pegawai honorer. PP tersebut bertentangan dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang mengamanatkan tersedianya pegawai negeri sipil (PNS) yang profesional.

Baca juga: Pastikan Tak Ada PHK dan Pengurangan Pendapatan Honorer, Pemerintah dan DPR Bahas RUU ASN

Selain itu, kebijakan tersebut tidak selaras dengan PP Nomor 98 Tahun 2000 sebagaimana diubah dengan PP 11 Tahun 2002 yang menyatakan pengisian formasi yang lowong untuk mendapatkan PNS yang kompeten.

Pengangkatan tenaga honorer bukan berdasarkan kebutuhan dan kompetensi, namun lebih karena belas kasihan. Hingga tahun 2023 urusan tenaga honorer membuat pening pihak-pihak tertentu, misalnya Menteri PAN-RB itu.

Saya masih mengingat tahun 2011—2014, ruang kerja tempat saya menandatangani surat persetujuan penetapan nomor induk pegawai (NIP) dipenuhi tumpukan dokumen pegawai honorer dari seluruh Indonesia. Ada dokumen asli, maupun asli tapi palsu. Dering telepon menanyakan proses NIP (nomor induk pegawai) mengganggu waktu istirahat.

Kadang-kadang di luar pagar terdengar orasi dan suara teriakan demonstran yang mengatasnamakan pegawai honorer. Di dalam ruang kerja, saya memperhatikan dan sempat ’terhanyut’ dengan manuver petugas penghubung dari instansi pusat maupun daerah. Manuver yang menyebabkan banyak pejabat kepegawaian melakukan distorsi sumpah jabatan, bahkan ada yang harus menerima keputusan pemecatan.

Reformasi Kepegawaian Setengah Hati

Istilah netralitas dan meritokrasi di lingkungan PNS mulai digaungkan tahun 1999, seiring dengan gerakan reformasi di Indonesia. Salah satu figur yang mempopularkan dua istilah tersebut yakni Profesor Sofian Effendi, mantan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BKN).

Sofian Effendi menghilangkan kata ‘administrasi’ yang sebelumnya melekat pada Badan Adminitrasi Kepegawaian Negara (BAKN). Penghapusan kata tersebut menandai reformasi kepegawaian.

Namun seperti pepatah, jauh panggah dari api, ketidaknetralan dan ketidakmeritokrasian tetap bercokol dalam tatanan kepegawaian. Mengapa? Karena politik masuk ke ranah kepegawaian, sebagaimana curhat Menteri Abdullah Azwar Anas.

Kepala daerah sebagai ”petugas” partai politik menjadi pejabat pembina kepegawaian (PPK) gigih membela honorer. 

Pisahkan Jabatan Politik dari PNS

Pada 20 Juni 2023, Kementerian PAN-RB menggelar rapat pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Perubahan Undang-Undang No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), di Jakarta. Maksud rapat adalah mewujudkan tujuan UU 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yakni menciptakan ASN yang profesional.

Namun apapun istilahnya, entah profesional, netralitas, meritokrasi tidak akan terwujud jika UU masih mendudukkan petugas partai politik menjadi PPK.

Baca juga: Penghapusan Tenaga Honorer, Menpan-RB: Semua Skema Sedang Disimulasikan

Ajib Rakhmawanto (2017) menyatakan, untuk menata sistem pemerintahan daerah dan pelaksanaan politik lokal yang paling tepat untuk diterapkan adalah memisahkan secara tegas antara jabatan politik yang menjadi domain partai politik dan jabatan karier yang menjadi domain PNS sebagai aparatur negara dan berperan pelaksana kebijakan.

Dampak dari politisasi birokrasiadalah  terjadi praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam rekrutmen ASN, kompensasi jabatan, komersialisasi jabatan, konflik kepentingan, dan penggunaan fasilitas untuk kepentingan politik praktis (Ajib Rakhmawanto, 2020).

Mendekati tahun politik 2024, tenaga honorer yang berjumlah 2,3 juta akan memengaruhi kebijakan pemerintah. Saat ini pemerintah kembali bersikukuh menghapus tenaga honorer pada November 2023. Ada tiga opsi untuk tenaga honorer: menjadi PNS paruh waktu, ASN, atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPK).

The Georgian Intitute of Public Affairs (GIPA) yang difasilitasi UNDP dan UK Aid dari pemerintah Inggris tahun 2020 melaporkan bahwa kesiapan dan kemauan politik pihak berwenang merupakan faktor paling utama dan penting dalam terciptanya manajemen PNS yang efektif dan netralitas politik. Temuan penelitian dan laporan itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa pejabat politik jangan lagi menjadi pejabat pembina kepegawaian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com