Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Trias Kuncahyono
Wartawan dan Penulis Buku

Trias Kuncahyono, lahir di Yogyakarta, 1958, wartawan Kompas 1988-2018, nulis sejumlah buku antara lain Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir; Turki, Revolusi Tak Pernah Henti; Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir; Kredensial, Kearifan di Masa Pagebluk; dan Pilgrim.

Suatu Hari di "Surga Kecil"

Kompas.com - 04/06/2023, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RABU, 30 Mei 2023, pukul 06.46 WIT, pesawat Garuda yang saya tumpangi mendarat di Bandara Sentani, Jayapura. Pagi itu saya menghirup udara Papua, "surga kecil yang jatuh ke Bumi", kata Franky Sahilatua.

Benarkah Papua itu "surga kecil"? Pertanyaan itu mengusik hati saya ketika berjalan keluar menyusuri koridor bandara. Saya sudah tak begitu ingat lagi seperti apa "surga kecil" itu. Sebab, seingat saya terakhir kali mengunjungi "surga kecil" itu tahun 1987, meliput kampanye pemilu oleh Menteri Sosial (Mensos) Nani Soedarsono.

Ketika itu, pemilu diselenggarakan secara serentak, pada 23 April 1987 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Provinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1987-1992.

Baca juga: Veronica Koman dan Data Tahanan Politik Papua, Dianggap Sampah hingga Harapan Tarik Pasukan

Kali ini pun, saya ke Papua ketika hawa Pemilu 2024 sudah terasa. Angin pemilu sudah mulai bertiup. Baunya terasa menyentuh hidung. Wajahnya menabrak mata. Di mana-mana ada baliho wajah calon-calon presiden; calon anggota legislatif. Bendera-bendera partai berkibaran di banyak tempat. Janji-janji politik menjadi menu sehari-hari.

Tetapi, saya ke Papua tidak ada urusannya dengan pemilu. Tidak! Kali ini urusannya kemanusiaan. Saya ke "surga kecil", mengikuti perjalanan safari kemanusiaan Mensos Tri Rismaharini: ke Jayapura, Yapen, Skouw, Muara Tami, Agats, dan Biak. Ketika "yang lain" sibuk urusan politik kekuasaan, Tri Rismaharini atau Risma memilih urusan politik kemanusiaan.

"Ya, dari awal mau merayakan Hari Lahir Pancasila, mencoba menerjemahkan Pancasila dalam tindakan. Bukan hanya persatuan Indonesia dan keadilan sosial yang kita terjemahkan, dalam hal ini supaya warga Asmat bisa merasakan bahwa Pancasila ada maknanya bersama-sama kami," kata Risma, Kamis (1/6/2023) di Agats.

Tak sepotong kata pun yang disampaikan Risma dalam setiap kesempatan bertemu dengan masyarakat dan para pemimpin masyarakat serta pemimpin agama yang bersangkut paut dengan politik kekuasaan. Hal yang selalu disampaikan adalah merealisasikan politik kemanusiaan, politik keadilan, politik kesejahteraan.

Memang demikian seharusnya: politik merupakan alat untuk mengabdi pada kemanusiaan, bukan menghamba pada kekuasaan. Meminjam kata Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan malah memperkeruh suasana. Tetapi, dalam praktiknya saat ini tidaklah seperti itu.

Maka, apa yang dilakukan Mensos Risma di Papua, telah mengubah wajah bengis politik menjadi tersenyum manis. Hal yang dilakukan Mensos - dengan menyapa masyarakat, mendengarkan keluhan, tuntutan, dan permintaan masyarakat, serta memberikan bantuan - telah menampilkan politik tidak sepenuhnya kotor, politik tidak sepenuhnya jahat. Sebab, politik juga dapat memanusiakan manusia; karena yang dilakukan adalah politik kemanusiaan.

Kata Paus Fransiskus dalam Ensiklik Fratelli Tutti (Semua Bersaudara), politik kemanusiaan adalah politik berbasiskan amal kasih. Politik ini merangkul semua pihak untuk mempromosikan kemanusiaan. Kemanusiaan adalah pemikiran dan tindakan yang sangat beradab, dilaksanakan untuk memuliakan ras manusia secara keseluruhan.

Bukankah kemanusiaan lebih penting dari politik, kata Gus Dur. Politik tanpa kemanusiaan akan melahirkan kekuasaan yang tidak peduli bahkan dapat menindas kemanusiaan.

Pendekatan yang Memanusiakan Manusia

Memanusiakan manusia. Itu kata kuncinya. Kata kunci dari (seharusnya) setiap kebijakan dan tindakan dari pemerintah, lembaga-lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga non-pemerintah. Sebab, sejatinya makna Pancasila adalah memanusiakan manusia.

Kata Uskup Agung Semarang yang juga pahlawan nasional, Mgr Albertus Soegijapranata (1940), kemanusiaan itu satu, bangsa manusia itu satu. Kendati berbeda bangsa (suku dan etnik), asal-usul, dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar (umat manusia).

Memanusiakan manusia juga menjadi ajaran semua agama. Agama apapun tidak ada yang membenarkan tentang penindasan makhluk hidup. Semua agama menitikberatkan kepada kemanusian. Karena dengan rasa kemanusiaan, manusia mendapatkan kebebasan untuk hidup.

Baca juga: Amnesty Internasional Desak Aktivis Politik Papua Viktor Yeimo Dibebaskan Tanpa Syarat

Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajak umatnya untuk menyebarkan dan melakukan kekerasan. Bila ternyata ada, yang salah bukanlah agamanya, tetapi bisa saja orang yang ada di dalamnya memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com