Oleh: Zen Wisa Sartre dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Menurut Lance Castle, Jakarta didiami oleh masyarakat yang menamakan dirinya sebagai orang Betawi. Nyatanya, masyarakat Betawi ini terbentuk melalui proses yang disebut sebagai melting pot, percampuran pelbagai etnik dan budaya, baik dari dalam maupun luar Indonesia.
Seperti pada kesenian, ada “Gambang Kromong” yang berasal dari seni musik Cina, kemudian ada juga “Sahibul Hikayat” yang datang dari Timur Tengah.
Itu sebabnya, bagi masyarakat Betawi sudah biasa ada pergeseran makna ataupun percampuran budaya sebagai ekspresi masyarakatnya.
Seperti yang diungkapkan Paramita (2019) bahwa ondel-ondel yang dulunya diarak keliling kampung untuk mengusir bala dan roh jahat, sekarang mulai dikomersialkan. Akan tetapi, budaya Betawi bukan perihal ondel-ondel saja yang mulai berubah.
JJ Rizal, sejarawan kelahiran Betawi asli, menuturkan pendapatnya perihal kehidupan dirinya sebagai bagian dari masyarakat Betawi dan erat dengan sastranya, seperti tokoh Pitung dan Djampang, dalam siniar BEGINU bertajuk “Bersyukur Lahir dari Nyak Betawi” yang dapat diakses melalui bit.ly/beginubetawi.
Perihal kesusastraannya, bisa dikatakan kisah Si Pitung begitu dekat dengan masyarakat Betawi. Kedekatannya ini bukan tanpa alasan. Si Pitung kerap diceritakan membantu masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang terjajah dan tak berdaya.
Baca juga: Kerajinan Tangan Anyaman dan Peluang Bisnis Internasional
Itu sebabnya, tokoh Si Pitung merupakan cerminan anti kolonial yang berbekal kepandaian dan kesaktian.
Sementara tentang kisah Si Djampang, Harian Kompas pernah menerbitkan sebuah bertajuk “Si Djampang Terdesak” pada hari Senin, 31 Mei 1971, lengkap dengan lantunan pantun dan karikaturnya selayak-layaknya masyarakat Betawi. Akan tetapi, di zaman Orde Baru, Si Djampang dibuat tidak berkutik.
Si Djampang sendiri adalah tokoh masyarakat Betawi yang dikenal sebagai jawara. Namun, derasnya arus pembangunan perkotaan pada era Orde Baru membuat Si Djampang tak berkutik.
Pasalnya, di zaman itu pembangunan perkotaan sedang marak-maraknya sehingga menyebabkan masyarakat Betawi harus merelakan tanah mereka untuk dijual.
Inilah realitas yang harus dihadapi dan berujung hingga kini. Masyarakat Betawi akan memperoleh ganti rugi atas tanah yang dijual, di saat yang sama mereka harus kehilangan sawah, lahan, dan pelbagai pesona Jakarta di masa lampau.
Kehadiran budaya populer juga tidak mungkin kita tampik. Sesuatu yang populer sudah menjadi konsumsi sehari-hari, seperti gaya berpakaian atau sekadar minum boba. Meskipun, keseharian populer itu datang dan pergi silih berganti dan tidak hanya terjadi sekarang ini, melainkan telah terjadi sedari dulu.
Bahkan, karya Shakespeare seperti Romeo and Juliet (1597) yang sekarang dianggap sebagai kanon, dulunya merupakan bagian dari sastra populer.
Itulah mengapa, suatu budaya yang lahir dari masyarakat tidak perlu diatur atau disahkan aparat negara, terutama menjadi hak milik seseorang atau instansi, seperti yang terjadi pada Citayam Fashion Week (CFW).