KOMPAS.com - Sejak 2018, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mewajibkan registrasi kartu seluler (SIM Card) menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor Kartu Keluarga (KK).
Dasar hukum registrasi kartu seluler ini tertuang dalam Peraturan Menkominfo Nomor 14 Tahun 2017.
Dengan begitu, masyarakat tak bisa mengaktifkan kartu seluler apabila tidak mendaftarkannya dengan NIK.
Baca juga: 1,3 Miliar Data Registrasi Kartu SIM Diduga Bocor, Pengamat Sebut Datanya Valid
Kominfo mengklaim kewajiban registrasi SIM Card ini dilakukan untuk memberi perlindungan terhadap konsumen.
Perlindungan yang dimaksud adalah terkait penyalahgunaan nomor ponsel oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab, seperti upaya penipuan.
Selain perlindungan itu, kewajiban registrasi kartu seluler dengan data kependudukan ini juga dimaksudkan untuk kepentingan National Single Identity yang dicanangkan pemerintah.
Maksudnya, sistem operator seluler dapat terhubung dengan database Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), sehingga identitas pemilik kartu akan terkait langsung dengan data kependudukan.
Baca juga: 1,3 Miliar Data SIM Card Diduga Bocor, Anggota DPR Harap RUU PDP Segera Selesai
Namun, niat baik Kominfo itu tak kunjung dirasakan oleh warga. Sebab, konsumen masih kerap menerima SMS penipuan dengan berbagai jenis.
Di antaranya adalah penipuan SMS modus mengaku teman lama dan penipuan modus undian.
Bahkan, tak sedikit warga yang menjadi korban atas SMS spam itu.
Pada 2021 misalnya, Polda Metro Jaya menangkap dua penipu yang beraksi dengan modus undian SMS dengan hasil Rp 200 juta per bulan.
"Pengakuannya tersangka ada baru sekali dan dua kali. Tetapi keuntungannya setelah kami dalami hampir Rp 200 juta per bulan," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus, Senin (1/3/2021).