PADA hari ini, operator telekomunikasi bukan lagi sekadar koneksi komunikasi antarkota hingga negara. Bukan juga sebatas konektor sinyal, pengirim surat elektronik, apalagi sebatas penyambung SMS!
Lebih dari itu, mari kita sama-sama melihat diri. Kehadiran operator telekomunikasi secara global dan khususnya di Indonesia, sudah demikian tinggi dan melampaui bayangan awal kita atas operator telekomunikasi.
Sebab, hampir seluruh problematika kehidupan kini "diserahkan" kepada layanan operator telekomunikasi!
Mulai dari bangun pagi ketika belum membasuh wajah sekalipun pun, banyak dari kita segera mengecek notifikasi di ponsel cerdasnya.
Selepas ibadah pagi, tak sedikit yang kemudian asyik berselancar mencari informasi awal terutama rute perjalanan --ini pun sebelum mandi dan sarapan.
Makin mendekati keberangkatan kantor, tentu interaksi ini makin "adiktif" karena selain menempatkan layanan telekomunikasi sebagai kolega perjalanan terutama musik dan video, juga sekaligus mencicil kerjaan secara remote melalui aneka aplikasi seluler.
Jikalau kemudian waktunya bekerja dari rumah atau dari manapun (WFH/WFA), malah justru kebergantungan pada layanan telekomunikasi makin menjadi.
Dengan bertumpu seluruhnya layanan wireline/wireless, akan menjadi sebuah kerugian amat besar jika kemudian sambungan tak stabil.
Maka tak perlu heran, laporan keuangan banyak operator telekomunikasi, baik di dalam negeri/luar justru mencatatkan performa EBITDA hingga laba bersih yang membumbung terutama dalam 2-3 tahun ini.
Bahkan, belakangan sampai ada operator internet menamakan dirinya Oksigen. Sebuah jenama yang rasanya tak berlebihan, mengingat faktanya memang demikian tingginya kebutuhan publik pada layanan operator telekomunikasi hari ini.
Presiden Jokowi menyatakan tahun 2030, Indonesia memerlukan 9 juta talenta digital. Sebuah aspirasi yang menantang untuk dipenuhi lewat jalur formal melalui pendidikan universitas, mengingat saat ini hanya 11 persen anak Indonesia yang beruntung mengenyam bangku elite tersebut.
Kita amati, saat ini terjadi liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia, Universitas kebanyakan dituntut untuk menghidupi sendiri. Akibatnya, pendidikan di indonesia sulit diakses oleh masyarakat miskin.
Saat ini yang dibiayai negara, baru universitas negeri, sedangkan jumlah universitas negeri di Indonesia sangat sedikit. Sehingga piramida jenjang pendidikan di Indonesia sangat meruncing.
Daya serap lulusan SMA sederajat tidak tersikulir dengan baik. Pilihannya adalah bekerja dengan kemampuan seadanya. SMK masih punya problematika dalam kebutuhan berdasarkan kualifikasi Industri.
Pendidikan adalah isu yang berhubungan dengan mobilitas sosial dan kesejahteraan rakyat serta pembentukan kelas menengah yang berdaya.