Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Dihantui Angka-angka Bukan Khayalan

Kompas.com - 19/04/2022, 04:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENGHINDARI gejala salfok agar lebih fokus ke angka khayalan maka di dalam naskah Dihantui Angka-Angka Khayalan (14 Maret 2022), saya sengaja tidak terlalu jujur untuk mengakui bahwa sebenarnya saya juga dihantui oleh angka-angka bukan khayalan.

Secara kuantitas maka juga kualitas penghantuan angka-angka bukan khayalan terhadap saya sebenarnya lebih parah ketimbang angka-angka khayalan.

Ternyata angka-angka tergolong bukan khayalan justru lebih beranekaragam ketimbang angka-angka yang dianggap tergolong khayalan.

Misalnya, angka-angka secara menyeluruh atas kesepakatan konspiratif para matematiawan/wati terbagi menjadi angka kecil dan angka besar yang kriterianya menjadi rumit karena tidak jelas mulai dari berapa sebuah angka boleh dibilang kecil dan mulai dari berapa sebuah angka boleh dibilang besar.

Misalnya, satu milliar merupakan angka besar bagi seorang buruh harian dengan gaji UMR. Namun satu milliar merupakan angka kecil bagi seorang koruptor kelas kakap bengkak yang sudah terbiasa sukses korupsi triliunan maka tak kunjung tertangkap.

Ambang batas presidential threshold 20 persen merupakan angka terlalu besar bagi para capres yang tidak didukung parpol besar.

Sementara 20 persen merupakan angka yang kalau perlu masih makin diperbesar bagi para capres yang maha kaya raya apalagi yang didukung parpol besar.

Kenisbian angka yang membedakan yang besar dengan yang kecil itu cukup menghantui saya ketika berupaya mempelajari apa sebenarnya tak benda (atau benda?) yang disebut sebagai
angka itu.

Penghantuan makin menjadi-jadi apabila unsur ketikak-terbatasan maksimal dan minimal infinitas ikut dilibatkan ke dalam kemelut perhantuan oleh angka-angka.

Dapat dimengerti bahwa segenap kemelut kenisbi-nisbian itu memotivir Albert Einstein menggagas special relativity dan general relativity yang kemudian melahirkan teori relativitas.

Lalu masih ada angka irasional yang dari namanya saja sudah dapat dipahami pasti sulit dipahami secara rasional.

Konon menurut para matematikawan/wati angka rasional berasal dari angka real alias nyata alias bukan khayalan sebagai saudara kandung dengan angka khayalan yang sama-sama berayah (atau ibu) kandung angka kompleks.

Sementara angka irasional berhenti di tempat sebab mandul maka tidak punya “keturunan”, maka angka rasional lanjut berkembang-biak menjadi dua, yaitu angka bulat dan angka pecahan.

Entah kenapa angka pecahan tidak lanjut terpecah-belah, maka angka bulat malah terbagi menjadi angka bulat negatif dan angka cacah yang membelah diri menjadi angka asli dan angka bukan palsu tapi malah nol alias nihil.

Sementara angka nol tetap sunyi sepi sendiri maka dengan gembira ria angka asli terbelah menjadi angka ganjil dan angka genap yang di masa kini digunakan oleh pemprov DKI Jakarta untuk mempersempit hak pemilik kendaraan bermotor roda empat menggunakan jalan raya meski sebenarnya sudah membayar pajak untuk menggunakannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com