Menjadi bintang ketinggian
Menjadi tanah kerendahan
Menjadi matahari tak sanggup
Menjadi bulan terlalu redup
Gedung-gedung ditinggikan
Akal sehat dihancurkan
(Sebagian lirik lagu “Bingung” milik Iksan Skuter)
Jika Thomas Dye (1981) merumuskan kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan, justru seorang Hendrar Prihadi, Walikota Semarang, Jawa Tengah, memilih langkah semenjana untuk memantik langkah besar.
Kehadiran Museum Kota Lama yang baru diresmikan beberapa waktu yang lalu, semakin melengkapi upaya revitalisasi bangunan dan gedung “jadoel” di Kawasan Kota Lama Semarang. Museum pertama di Tanah Air yang menggunakan teknologi digital imersif 3D, membuat pengunjung museum seolah-olah berada di pusaran sejarah masa lalu Semarang. Begitu hidup dan nyata sehingga kunjungan ke museum tidak sekedar ritual yang membosankan.
Baca juga: 5 Kafe di Kawasan Kota Lama Semarang yang Asik untuk Nongkrong
Tidak itu saja, kehadiran Museum Kota Lama menjadi pelengkap penataan Kawasan Kota Lama sebagai cultural tourism integrated area yang menjadi khas dan ikonik. Betapa tidak, romantisme sejarah tidak lagi berkutat pada dokumentasi visual dan naratif belaka tetapi eksistensi artefak lama tetap terawat dan teruwat.
Mengunjungi Museum Kota Lama begitu memadukan edukasi sejarah dan kebutuhan eksistensi narsisme milenial melalui penyediaan spot-spot foto yang instagramable. Kunjungan museum tidak lagi memjemukan tetapi membuat pengunjung mendapat paparan pengetahuan lewat sajian yang menarik.
Jejak lama jalur trem di Semarang ditampilkan museum dengan mengajak pengunjung untuk menikmati perjalanan virtual di atas gerbong kereta lama. Demikian juga situs stasiun era penjajahan Belanda juga menjadi alas pandang yang berada di bawah jejak kaki para pengunjung. Tidak terasa dengan mengunjungi Museum Kota Lama Semarang, membuat kita mendapat asupan kilas sejarah masa lalu dari sebuah kota di Tanah Air.
Kawasan Kota Lama Semarang atau yang sering dijuluki Outstadt atau Little Netherland mencakup setiap area gedung-gedung yang dibangun sejak zaman Belanda. Seiring berjalannya waktu, istilah Kota Lama sendiri terpusat untuk daerah dari sungai Mberok hingga menuju daerah Terboyo.
Secara umum karakter bangunan di Kota Lama mengikuti bangunan-bangunan di Benua Eropa di sekitar era tahun 1700-an. Hal ini terlihat dari detail bangunan yang khas dan ornamen-ornamen yang identik dengan gaya Eropa. Mulai dari ukuran pintu dan jendela yang luar biasa besar, penggunaan kaca-kaca patri berwarna, bentuk atap yang unik hingga ruang bunker bawah tanah.
Pembongkaran rumah radio perjuangan bersejarah milik Bung Tomo di Jalan Mawar Nomor 10 Surabaya, Jawa Timur oleh pemilik baru beberapa tahun lalu, menjadi “penanda” bahwa wajah modernisasi sebuah kota begitu mengabaikan nilai-nilai sejarah.
Demikian juga kendornya pengawasan kawasan heritage di Koridor Ijen, Malang, Jawa Timur menjadikan modus pembongkaran bangunan cagar budaya untuk didirikan bangunan baru menjadi marak terjadi. Penjualan rumah oldies di Jalan Buring Nomor 46 seperti halnya dengan rumah jadoel di Jalan Ijen 45 Malang, semoga tidak mengubah bangunan asli.
Saya yang pernah bermalam selama beberapa hari di Buring, begitu menikmati aroma sejarah Malang tempo dulu. Sayang jika nantinya dibongkar karena alasan tidak cocok dengan feng shui.