Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Rezim Otoritarian adalah Kejahatan Kemanusiaan

Kompas.com - 04/03/2022, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JANUARI 2017, sejumlah elite dunia mendengarkan dengan sopan saat Presiden China Xi Jinping memberikan pidato utama di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.

Tentu saja, pemimpin Tiongkok itu tidak berbicara soal bagaimana dia dan kroni-kroninya memenjarakan dan menghilangkan aktivis hak asasi manusia, menganiaya etnis minoritas dan kelompok agama, dan mengoperasikan sistem sensor dan pengawasan yang luas.

Ironis memang, sebuah forum yang didedikasikan untuk “membangun peradaban dunia yang lebih baik,” menawarkan panggung yang begitu penting bagi pemimpin seperti Xi yang memulai sambutannya sebagian dengan bertanya, “Apa yang salah dengan dunia?” Faktanya adalah dia bagian dari masalah.

Rezim otoriter bermula dari pemilu curang dan kudeta

Rezim otoriter biasanya berawal dari pemilu yang curang. Menjelang pemilihan parlemen Rusia September 2021, rezim Presiden Vladimir Putin menghilangkan ilusi persaingan dengan memenjarakan pemimpin oposisi Aleksey Navalny.

Untuk menutup peluang Navalny memenangkan pemilu, Putin menerapkan pelaksanaan pemilu yang curang, dengan membatasi pengawas independen, dan menghapus aplikasi seluler untuk proses hitung cepat hasil pemilu yang didukung Navalny. Bahkan, menjelang pemilu, Putin memberlakukan undang-undang tentang "agen media asing" untuk membatasi aktivitas media independen serta individu yang kritis terhadap rezim.

Baca juga: Presiden Nikaragua Bela Sikap Rusia atas Ukraina, Apa yang Dikatakan?

Pemilihan presiden pada November 2021 di Nikaragua juga tidak kompetitif. Pemerintah Presiden Daniel Ortega menolak untuk menerapkan reformasi pemilu yang direkomendasikan oleh organisasi pemantau pemilu internasional demi terlaksananya pemilu yang independen, transparans, dan kredibel.

Sebaliknya, selama tahun-tahun sebelumnya, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang dirancang untuk menargetkan oposisi, termasuk undang-undang “agen asing” yang terinspirasi oleh undang-undang Rusia.

Pemilihan Dewan Legislatif Desember 2021 di Hong Kong menggarisbawahi keberhasilan Beijing dalam membongkar lembaga-lembaga semi-demokrasi di wilayah itu. Oleh karena itu, tidak mengejutkan siapa pun ketika kandidat pro-Beijing mendominasi legislatif baru, meskipun ada sejarah panjang dukungan pemilih yang kuat untuk kandidat prodemokrasi.

Selain pemilu curang, rezim otoritarian seringkali berawal dari kudeta atau perebutan kekuasan secara illegal.

Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) dan Presiden China Xi Jinping berpose selama pertemuan mereka di Beijing, pada 4 Februari 2022. AFP PHOTO/ALEXEI DRUZHININ Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) dan Presiden China Xi Jinping berpose selama pertemuan mereka di Beijing, pada 4 Februari 2022.
Freedom House (2022) mencatat, selama 11 tahun terakhir (Februari 2010-Februari 2022) telah terjadi 69 kali kudeta atau percobaan kudeta di 69 negara di seluruh dunia.

Salah satunya yang paling fenomenal adala kudeta yang terjadi pada 01 Februari 2021 di Myanmar, tepat sebelum parlemen baru akan dilantik menyusul pemilihan pda November 2020 yang cacat tetapi kredibel di mana partai pilihan militer dikalahkan dengan telak.

Meski tak ramai diberitakan, upaya percobaan kudeta paling anyar terjadi di Guinea-Bissau pada 1 Februari 2022. Beberapa jam kemudian, Presiden Umaro Sissoco Embaló menyatakan kudeta telah berakhir. Kepada media, dia mengatakan bahwa "banyak" anggota pasukan keamanan telah tewas dalam "serangan yang gagal terhadap demokrasi.

Aliansi antidemokrasi

Belakangan ini para pemimpin otoriter tidak lagi terisolasi di dunia yang berjuang menjadi demokratis. Sementara banyak negara demokrasi terus menanggapi pemilu palsu dan kudeta dengan langkah-langkah seperti sanksi dan pemotongan bantuan, para pemimpin dan rezim otoritarian justru secara aktif berkolaborasi satu sama lain untuk menyebarkan bentuk-bentuk baru represi dan menolak tekanan demokrasi.

Dalam beberapa kasus, mereka berkolaborasi secara ekonomis.

Pemerintah Rusia, China, dan Turki misalnya telah memberikan perdagangan dan investasi kepada rezim Venezuela, mengimbangi sanksi yang dijatuhkan oleh negara-negara demokrasi karena pemilihannya yang curang dan tindakan keras terhadap oposisi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com