Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Je Pence, Donc Je Suis

Kompas.com - 22/02/2022, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SATU dari sekian banyak ujar-ujar yang paling popular maka paling sering di-quote adalah yang diujarkan oleh matematikawan merangkap filosof Perancis abad XVII Rene Descratescogito, ergo sum” yang lazim diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai “aku berpikir maka aku ada”.

Cogito, ergo sum merupakan unsur fundamental filsafat Barat sekaligus sebagai landasan bekal ilmu pengetahuan dalam menghadapi kehakikian radikalisme keraguan.

Sementara ilmu pengetahuan berperan sebagai imajinasi, desepsi serta kekeliruan, Descrates meyakini bahwa keraguan seseorang terhadap dirinya sendiri dapat berfungsi sebagai bukti kenyataan pemikiran diri sendiri, maka seharusnya ada entitas pemikiran tentang kehadiran apa yang an sich disebut sebagai pemikiran.

Semula Descrates tidak menggunakan istilah berbahasa Latin yang kini dikenal sebagai cogito, ergo sum tersebut.

Agar bisa lebih dimengerti masyarakat awam pada masanya, maka pertama kali di dalam buku Discourse (1637) Descrates menggunakan bahasa ibunya, yaitu Perancis je pense, donc je suis dengan catatan kaki “kita mustahil meyakini eksitensi diri kita sendiri sementara kita sendiri meragukannya”.

Kemudian Descrates mengungkap kalimat dalam bahasa Latin lebih berkepanjangan, yaitu dubito, ergo sum, vel, quod idem est, cogito, ergo sum yang apabila dipaksakan dialihbahasakan ke Indonesia kira-kira menjadi “saya merasa ragu maka saya ada yang berarti sama saja saya berpikir maka saya ada”.

Pada tahun 1765, Antoine Léonard Thomas menulis sebuah esai mengenang Descrates dengan mempersingkat ujar-ujar Descrates menjadi dubito, ergo cogito, ergo sum (saya meragu berarti saya berpikir maka saya ada).

Kemudian entah oleh siapa serta kenapa ternyata ujar-ujar rumit makna itu malah dipersingkat menjadi cogito, ergo sum (saya berpikir maka saya ada) di mana kata dubito melenyapkan diri entah ke mana dan kenapa.

Sementara filosof merangkap fisikawan Italia, Carlo Rovelli kurang setuju terhadap istilah “aku” yang terlalu membakukan subyektifitas pemikiran Descrates yang seyogianya tidak mengabaikan “orang ke tiga”

Pada hakikatnya “dubito” dalam makna “merasa ragu” sebenarnya lumayan penting untuk sebaiknya jangan begitu saja dilenyapkan.

Menurut pendapat saya, “keraguan” justru merupakan unsur penting dalam proses pemikiran ilmu pengetahuan termasuk filsafat.

Tanpa keraguan justru tidak ada enerji kelirumologis sebagai penggerak mekanisme peradaban.

Namun apa artinya pendapat saya dibandingkan dengan kehendak para beliau yang secara tanpa perlu diragukan (dubito) lagi memang memiliki kewibawaan dan kekuasaan alias kompetensi untuk mempersingkat atau memperpanjang atau memperapapun kalimat keren terutama dalam bahasa Latin agar makin terkesan keren.

Semisal apa boleh buat kalimat “copia ciborum, subtilitas impeditur” apalagi diucapkan oleh Seneca memang pasti jauh lebih berwibawa keren ketimbang peringatan “ojo ng’gragas” diucapkan dalam bahasa Jawa kurang halus oleh Jaya Suprana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com