Hai, apa kabarmu? Semoga kabarmu baik.
Saat ini, seperti saya alami, memastikan kabar keluarga, sahabat atau teman-teman bukan lagi pertanyaan basa-basi. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, menyadari kondisi diri menjadi penting.
Sekali lagi, apa kabarmu? Sambil menarik nafas dalam dan mengembuskannya pelan, jawablah pertanyaan ini untuk dirimu sendiri. Karena pertanyaan untuk diri sendiri, jawablah sejujur-jujurnya apa pun kenyataan yang disadari.
Tak perlu berpura-pura baik jika kabar memang sedang tidak baik. Tak perlu berpura-pura tidak baik jika kabar memang sedang baik. Sadari dan terima. Kesadaran dan penerimaan atasnya jauh lebih baik, apa pun itu kondisinya.
Pertanyaan soal kabar ini saya ulang karena harapan baik untuk tahun 2021 seperti gugur di dua minggu pertama. Secara beruntun, rasa duka menghampiri kita.
Belum pulih duka kita karena kecelakaan pesawat Sriwijaya Air di perairan Kepulauan Seribu, banjir besar terjadi di Kalimantan Selatan, longsor terjadi di Sumedang, gempa bumi terjadi di Sulawesi Barat dan sejumlah gunung berapi aktif memberi tanda-tanda akan adanya bahaya.
Bagaimana kita meletakkan harapan di tengah kerapuhan dan ketidakmampuan kita untuk menghadapi ketidakpastian yang demikian besar juga ketika berhadapan dengan fenomena alam?
Seorang teman datang menyapa lewat pesan di media sosial. Teman yang kerap jadi teman bercakap-cakap di sela-sela waktu istirahat ketika mengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) di Serpong, Tangerang.
Teman saya meyapa lewat artikel terbarunya. Sebagai doktor dengan bidang penelitian filsafat politik, filsafat ilmu dan kebijaksanaan timur, hampir setiap minggu ada artikel terbaru muncul di blognya.
Jauh dari gambaran doktor filsafat pada umumnya, tulisan-tulisan teman saya ini mudah sekali dicerna justru karena tidak hendak menunjukkan kepakarannya.
Atas pertanyaan yang memunculkan rasa gelisah soal harapan dan penderitaan, teman saya itu menulis artikel berjudul "Batu yang Dilempar Pasti Kembali ke Tanah".
Artikel yang dikirimkannya lewat aplikasi Whatsapp itu membuat saya hening dan menemukan jawaban. Jatuh adalah hukum alam untuk sesuatu yang dilambungkan atau dilemparkan ke atas.
Rasa sakit atau penderitaan yang hadir karena jatuh adalah pintu masuk untuk kesadaran. Dalam bahasanya, derita akan membangunkan dari tidur yang membuat kita terlenakan.
Nama teman saya ini adalah Reza AA Wattimena. Adik kelas jauh ketika kuliah dan telah menyelesaikan studi doktoral di kampus idaman saya.