Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tawuran Antar Pendukung Paslon Pilkada, Mengapa Bisa Terjadi?

Kompas.com - 29/11/2020, 17:13 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tawuran antar pendukung pasangan calon (paslon) Bupati dan Wakil Bupati terjadi di Malaka, Nusa Tenggara Timur pada Sabtu (28/11/2020).

Dikutip dari Kompas.com, Sabtu (28/11/2020) Kepolisian Resor Malaka telah menangkap 13 orang yang terlibat tawuran.

Kabidhumas Polda NTT Kombes Pol Johannes Bangun, mengatakan, 13 warga yang ditangkap itu merupakan pendukung dan simpatisan pasangan dua calon bupati dan wakil Bupati Malaka.

Baca juga: Pilkada 2020 di Tengah Pandemi, Apa yang Memberatkan Pemerintah?

Johannes mengatakan, tawuran terjadi di Jembatan Benanai, Desa Haitimuk, Kecamatan Weliman.

Selain menangkap 13 orang yang terlibat tawuran, polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam, satu unit mobil pikap, ketapel, kayu, batu dan panah.

Saat ini, 13 orang tersebut beserta barang bukti ditahan di Mapolres Malaka guna proses hukum lebih lanjut.

Baca juga: Pandemi Corona Masih Berlangsung, Mungkinkah Pilkada Ditunda?

Minim saluran dialog

Ketua Prodi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS Nurhadi mengatakan, sebetulnya fenomena kekerasan yang melibatkan kelompok yang berbeda bukan hanya disebabkan oleh Pilkada.

"Ini hanya satu dari sekian banyak varian kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang," kata Nurhadi saat dihubungi Kompas.com, Minggu (29/11/2020).

Menurutnya, kasus-kasus kekerasan antar kelompok tidak hanya ekslusif pada kelompok pendukung partai politik atau tokoh politik, namun bisa juga ditemui pada kelompok lain, seperti pendukung klub sepak bola, geng motor, atau kelompok agama.

Baca juga: Menyoal Aturan Pilkada 2020 yang Membolehkan Konser Musik dan Kerumunan Massa...

Nurhadi menyebut, ada dua penjelasan yang bisa menjadi alasan timbulnya tindak kekerasan yang melibatkan kelompok.

"Yang pertama adalah selama ini saluran dialog antar mereka yang berbeda, baik itu dari kelompok berbeda, ideologi berbeda, partai berbeda, calon berbeda, dan barangkali agama berbeda, itu kan tidak berjalan dengan baik," kata Nurhadi.

Dia mengatakan, minimnya saluran-saluran tempat seseorang bisa menyampaikan gagasannya secara terbuka dan bebas masih minim, sehingga yang selama ini terjadi adalah tidak ada dialog namun yang terjadi adalah saling menimpali.

"Dalam situasi semacam itu, yang muncul adalah orang cenderung mencari pembenaran tentang apa yang selama ini telah mereka yakini sebagai benar dan baik. Sehingga kemudian mereka memilah-milah informasi yang mereka anggap benar," katanya lagi.

Baca juga: Pro dan Kontra Menanggapi Pilkada di Tengah Pandemi Corona...

Benih konflik sudah tertanam

Menurut Nurhadi, ketiadaan atau minimnya saluran dialog itu, kemudian menjadi faktor kedua pemicu kekerasan yang melibatkan kelompok.

Yakni, memicu kecenderungan pengelompokan di tengah masyarakat menjadi semakin kuat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com