DALAM satu dekade terakhir, umat manusia berhadapan dengan setidaknya enam pandemi. Pandemi H1N1 (flu babi) pada 2009, polio (2014), Ebola (2014), Zika (2016), Ebola (2019). Terakhir, Covid-19 yang bermula di Wuhan, Cina, telah dinyatakan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 30 Januari 2020.
Setiap pandemi selalu memicu sejumlah besar kematian dan mengakibatkan kerugian hingga miliaran dolar (Fan et al., 2019). Namun, dibandingkan dengan pandemi lain, Covid-19 telah menimbulkan dampak yang luar biasa bagi peradaban manusia.
Data WHO menunjukkan per 3 Agustus 2020, Covid-19 telah menyebar di lebih dari 200 negara, menjangkiti 17.918.582 orang. Dari jumlah itu, 686,703 orang meninggal. WHO juga memperkirakan angka-angka ini akan bertambah dengan cepat hingga batas waktu yang tak dapat dipastikan.
Pandemi Covid-19 belum dapat dikendalikan karena vaksin penawarnya masih dalam tahap uji coba. Sementara di saat yang sama, semua negara di dunia memiliki agenda untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan, sosial-budaya, akademi, bisnis, olahraga, dan politik (pemilihan umum), yang tak mudah untuk dibatalkan.
Berbagai kegiatan itu memperbesar risiko penyebaran Covid-19, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Selain berdampak mematikan kehidupan manusia, Covid-19 memiliki potensi mengubah peradaban, baik secara negatif dan positif sekaligus.
Secara negatif, Covid-19 memaksa umat manusia untuk merenggangkan relasi dan interaksi sosial. Umat manusia terpaksa menghindari kerumunan.
Aktivitas beribadah, bekerja serta belajar dari rumah. Covid-19 juga mengganggu supply-chain, menghambat produksi sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di China, Amerika Serikat (AS), India atau Indonesia, tetapi juga dunia secara keseluruhan.
Selain itu, Covid-19 membuat berbagai layanan keagamaan, pendidikan, dan pemerintahan terganggu. Dalam sejumlah kasus, layanan publik yang terganggu membuat publik kecewa sehingga menimbulkan protes dan kekacauan.
Dalam perspektif sosiologis, hal seperti itu dapat mengancam peradaban jika pemerintah kehilangan kendali atas warga yang melakukan kekerasan.
Mengutip Tainter (1988:4), John Danafer (2019), suatu peradaban dapat dikatakan runtuh apabila mengalami kemunduran/kerugian ekonomi, sosial-budaya dan politik secara cepat dan substansial dari kondisi sebelumnya yang stabil/mapan.