Sementara Scott Morrison, perdana menteri Australia, mengatakan kepada parlemen, "Perdagangan terbuka telah menjadi bagian inti dari kemakmuran kita selama berabad-abad. Tetapi sama-sama, kita perlu melihat dengan hati-hati kedaulatan ekonomi domestik kita juga."
Jepang juga telah mulai menyelidiki cara untuk memutuskan ketergantungan rantai pasokannya pada Cina dan berupaya untuk memproduksi lebih banyak di dalam negeri.
Presiden AS, Donald Trump yang telah menggaungkan slogan America First sejak 2016, memanfaatkan Covid-19 untuk menggencarkan langkah proteksionisme.
Covid-19 juga telah mendorong sejumlah negara melarang ekspor karena khawatir akan produksi makanan, peralatan medis, peralatan pelindung diri, dan obat-obatan dalam negeri yang tidak memadai. Kebijakan semacam itu tentu saja akan memperburuk krisis ekonomi.
Berdasarkan tren degloblasasi yang makin kuat, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) meramalkan bahwa perdagangan dunia akan menurun antara 13 dan 32 persen pada 2020, jauh lebih besar dari perkiraan penurunan PDB dunia.
Yang bikin masa depan dunia makin kusut adalah ketika memfokuskan perhatian ke dalam negeri sendiri, banyak negara juga berhadapan dengan kondisi semakin lemahnya daya beli masyarakat.
Sebagian besar negara telah mengakui bahwa tingkat pengeluaran rumah tangga turun sebesar 20-50 persen, dan tidak pulih melebihi 80-90 persen bahkan berbulan-bulan ke depan.
Jadi, Covid-19 membawa bangsa-bangsa di dunia berhadapan dengan buah simalakama, di makan ibu mati, tak dimakan ayah yang mati. Masalah yang pelik kan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.