Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Pemberitaan Corona, Menakar Kembali Jurnalisme Kesehatan

Kompas.com - 23/03/2020, 14:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Drs Moehammad Gafar Yoedtadi MSi

SEORANG reporter stasiun televisi berita nasional muncul di layar melaporkan secara langsung dari wilayah Depok, Jawa Barat, lokasi di mana dua orang penderita pertama virus corona di Indonesia. Sang reporter tampil mengenakan masker jenis gas mask respirator.

Sontak penampilan reporter bermasker gas mask respirator tersebut viral di media sosial dan menjadi perbincangan warganet. Bukan karena kualitas laporan yang seadanya, lebih kepada penampilan menggunakan gas mask respirator.

Penampilan tersebut terkesan berlebihan dan tanpa dasar medis. Gas mask respirator biasanya digunakan untuk menangkal gas beracun, tentu tak ada hubungannya dengan topik yang tengah diliputnya, yakni wabah virus corona.

Selanjutnya dua orang presenter stasiun televisi berita internasional yang membuka cabang di Indonesia, tampil dalam acara berita dan menjelaskan jenis-jenis masker yang tersedia di pasaran.

Sambil menjelaskan, salah seorang presenter sempat menekankan pentingnya mengenakan masker jika bepergian untuk mencegah terpapar virus corona. Presenter tersebut menambahkan bahwa virus corona atau dikenal Covid-19 dapat menyebar melalui udara (airborne).

Dua berita di atas, barang kali dapat menjadi contoh kesalahan pemberitaan Covid-19 yang dilakukan oleh media arus utama (mainstream media).

Fakta sesungguhnya virus corona tidak menyebar melalui udara (airborne), namun dari droplet, yakni percikan cairan yang keluar saat seorang penderita bersin atau batuk. Karena itu, sangat dianjurkan untuk lebih sering mencuci tangan.

Masker justru tidak efektif digunakan oleh orang yang sehat untuk mencegah penularan. Masker hanya diwajibkan bagi yang sakit agar droplet yang dikeluarkannya tidak menyebar.

Kesalahan pemberitaan soal penyebaran virus corona tersebut bisa jadi pemicu kepanikan masyarakat untuk memborong masker secara besar-besaran. Akibatnya, terjadi kelangkaan masker di pasar. Hal ini tentu bukan tujuan dari pemberitaan media massa.

Di tengah arus hoaks virus corona yang begitu deras, media arus utama diharapkan menjadi medium konfirmasi dan verifikator informasi kepada masyarakat.

Dalam definisi Kovach dan Rosenstiel (2010) merekalah penjaga pintu (gate-keeper) informasi yang layak dipercaya.

Merekalah yang memilah dan mengurutkan fakta, propaganda, rumor, dan kecurigaan dan mengubahnya menjadi berita yang benar dan dapat dipercaya.

Jurnalisme kesehatan membutuhkan keahlian khusus

Terlepas dari tugas suci media, sejatinya berita kesehatan memang memiliki prasyarat berupa keahlian khusus bagi peliputnya. Jurnalisme kesehatan (health journalism) tak bisa dilakukan oleh sembarang wartawan.

Penelitian Maksimainen (2016) menyimpulkan bahwa masalah utama berita kesehatan adalah kekurangpahaman terhadap ilmu kesehatan oleh para peliputnya. Ditambah ketidakmampuan wartawan menyajikan dalam bahasa yang sederhana.

Maksimainen meletakkan jurnalisme kesehatan sebagai bagian dari jurnalisme ilmu pengetahuan (science journalism).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com