Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemberitaan Corona, Menakar Kembali Jurnalisme Kesehatan

SEORANG reporter stasiun televisi berita nasional muncul di layar melaporkan secara langsung dari wilayah Depok, Jawa Barat, lokasi di mana dua orang penderita pertama virus corona di Indonesia. Sang reporter tampil mengenakan masker jenis gas mask respirator.

Sontak penampilan reporter bermasker gas mask respirator tersebut viral di media sosial dan menjadi perbincangan warganet. Bukan karena kualitas laporan yang seadanya, lebih kepada penampilan menggunakan gas mask respirator.

Penampilan tersebut terkesan berlebihan dan tanpa dasar medis. Gas mask respirator biasanya digunakan untuk menangkal gas beracun, tentu tak ada hubungannya dengan topik yang tengah diliputnya, yakni wabah virus corona.

Selanjutnya dua orang presenter stasiun televisi berita internasional yang membuka cabang di Indonesia, tampil dalam acara berita dan menjelaskan jenis-jenis masker yang tersedia di pasaran.

Sambil menjelaskan, salah seorang presenter sempat menekankan pentingnya mengenakan masker jika bepergian untuk mencegah terpapar virus corona. Presenter tersebut menambahkan bahwa virus corona atau dikenal Covid-19 dapat menyebar melalui udara (airborne).

Dua berita di atas, barang kali dapat menjadi contoh kesalahan pemberitaan Covid-19 yang dilakukan oleh media arus utama (mainstream media).

Fakta sesungguhnya virus corona tidak menyebar melalui udara (airborne), namun dari droplet, yakni percikan cairan yang keluar saat seorang penderita bersin atau batuk. Karena itu, sangat dianjurkan untuk lebih sering mencuci tangan.

Masker justru tidak efektif digunakan oleh orang yang sehat untuk mencegah penularan. Masker hanya diwajibkan bagi yang sakit agar droplet yang dikeluarkannya tidak menyebar.

Kesalahan pemberitaan soal penyebaran virus corona tersebut bisa jadi pemicu kepanikan masyarakat untuk memborong masker secara besar-besaran. Akibatnya, terjadi kelangkaan masker di pasar. Hal ini tentu bukan tujuan dari pemberitaan media massa.

Di tengah arus hoaks virus corona yang begitu deras, media arus utama diharapkan menjadi medium konfirmasi dan verifikator informasi kepada masyarakat.

Dalam definisi Kovach dan Rosenstiel (2010) merekalah penjaga pintu (gate-keeper) informasi yang layak dipercaya.

Merekalah yang memilah dan mengurutkan fakta, propaganda, rumor, dan kecurigaan dan mengubahnya menjadi berita yang benar dan dapat dipercaya.

Jurnalisme kesehatan membutuhkan keahlian khusus

Terlepas dari tugas suci media, sejatinya berita kesehatan memang memiliki prasyarat berupa keahlian khusus bagi peliputnya. Jurnalisme kesehatan (health journalism) tak bisa dilakukan oleh sembarang wartawan.

Penelitian Maksimainen (2016) menyimpulkan bahwa masalah utama berita kesehatan adalah kekurangpahaman terhadap ilmu kesehatan oleh para peliputnya. Ditambah ketidakmampuan wartawan menyajikan dalam bahasa yang sederhana.

Maksimainen meletakkan jurnalisme kesehatan sebagai bagian dari jurnalisme ilmu pengetahuan (science journalism).

Mengacu hal itu, maka jurnalisme kesehatan dapat diarahkan pada dua hal, pertama memberitakan penemuan teknologi kesehatan, antara lain obat-obatan dan metode penyembuhan baru.

Kedua, membahas isu-isu persoalan kesehatan di masyarakat, antara lain obesitas, wabah, menajemen pelayanan kesehatan, dan lain-lain.

Tidak sedikit berita yang dihasilkan oleh wartawan kesehatan memiliki kualitas yang jauh dari harapan. HealthJournalismReview.org (2016) membuat sepuluh kriteria berita kesehatan yang baik.

  1. Berita kesehatan mendiskusikan tentang biaya pengobatan
  2. Mampu menjelaskan manfaat pengobatan
  3. Transparan dalam menjelaskan kerugian
  4. Mengevaluasi kualitas bukti medis
  5. Hindari penyakit hasil dari propaganda ketakutan
  6. Menggunakan sumber independen dan mengidentifikasi konflik kepentingan
  7. Membandingkan metode pengobatan baru dengan alternatif yang ada
  8. Memastikan ketersediaan prosedur dan obat
  9. Menyeleksi kebaruan dari pengobatan yang ada
  10. Mengandalkan sumber akurat dan menghindari rilis berita.

Berita kesehatan yang baik minimal memenuhi lima kriteria dari sepuluh kriteria yang ditetapkan.

Redaksi mengabaikan wartawan kesehatan

Untuk menghasilkan berita kesehatan yang baik, redaksi sebuah media dituntut untuk memiliki lebih dari seorang reporter dan redaktur bidang kesehatan yang secara konstan meliput isu-isu kesehatan.

Studi yang dilakukan oleh Schwitzer (2009) terhadap media-media arus utama di Amerika Serikat menunjukkan kurangnya perhatian redaksi terhadap jurnalisme kesehatan. Hal ini terlihat dari minimnya wartawan kesehatan di redaksi.

Seringkali hanya ada satu reporter bidang kesehatan, tanpa didampingi oleh redaktur kesehatan. Atau, reporter bidang lain merangkap liputan kesehatan.

Hal yang sama bisa terjadi pada media kita. Misalnya, reporter bidang kriminal merangkap liputan kesehatan.

Maka, tak perlu heran jika pada beritanya pasien virus corona diposisikan tak jauh beda dengan pelaku kejahatan. Identitas dan latar belakang pasien diungkap ke publik.

Pentingnya memiliki reporter dan redaktur bidang kesehatan akan berkaitan pula dengan pengembangan pengetahuan di bidang kesehatan.

Redaksi tidak bisa berlepas tangan dalam mengupayakan peningkatan pengetahuan wartawan kesehatan.

Schwitzer (2009) menyayangkan sedikitnya dana pelatihan dan pengembangan pengetahuan kesehatan yang dialokasikan redaksi. Akibat penghematan begitu besar, redaksi acapkali memotong dana pelatihan.

Dalam wawancara yang dilakukan oleh Schwitzer terhadap para wartawan kesehatan di Amerika Serikat, terungkap keluhan mereka akan ketiadaan pelatihan dan pengembangan pengetahuan ilmu kesehatan.


Untuk mencapai standar berita kesehatan yang baik, McGrant dan Kapadia (dalam Hinnant dkk, 2015) tidak hanya merekomendasikan pelatihan, bahkan meminta dilakukan sertifikasi bagi wartawan kesehatan agar berita yang dihasilkan terhindar dari sensasi, bias, dan konflik kepentingan.

Pengalaman penulis yang pernah bekerja sebagai wartawan, merasakan berbagai kekurangan redaksi yang diungkap oleh Schwitzer.

Pengurangan sumber daya manusia (SDM) wartawan oleh manajemen media, pada akhirnya menghilangkan spesialisasi bidang liputan. Wartawan menjadi seorang generalis, yang tahu bermacam-macam hal, tetapi dangkal.

Selain kekurangan SDM, bujet pelatihan dan keterampilan sangat minim, terutama untuk bidang-bidang khusus.

Memang, persaingan bisnis media mengakibatkan redaksi harus berhemat dan melakukan efisiensi. Namun, dampaknya pada kualitas berita.

Peran penting jurnalisme kesehatan

Di tengah banjirnya hoaks virus corona, sudah selayaknya media arus utama mengutamakan kualitas pemberitaan kesehatan agar dapat menjadi pegangan masyarakat.

Hinnant dkk (2015) memetakan empat peran profesional yang wajib diemban jurnalisme kesehatan.

Pertama, disseminator, menyiarkan informasi secepat mungkin kepada publik dan menghindari fakta yang tidak dapat diverifikasi.

Kedua, interpretative, yakni melakukan analisis dan interpretasi pada masalah kesehatan yang kompleks, memberikan analisis dan menyelidiki klaim yang dibuat oleh pihak berwenang.

Ketiga, adversarial, menempatkan wartawan dalam posisi lawan terhadap pejabat publik dan para pembisnis kesehatan, serta senantiasa bersikap skeptis terhadap mereka.

Keempat, facilitate, peran yang tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga solusi konkret, mudah diakses, dan bertanggung-jawab. Wartawan tidak hanya melaporkan tapi juga memacu diskusi dan keterlibatan publik.

Kempat peran ini semoga dapat menjadi renungan dan koreksi terhadap media kita dalam mempratikkan jurnalisme kesehatan.

Drs Moehammad Gafar Yoedtadi MSi
Dosen Jurnalistik Fikom Untar

https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/23/143538365/pemberitaan-corona-menakar-kembali-jurnalisme-kesehatan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke