Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wacana Kaji Ulang Pemilihan Langsung, Seberapa Besar Urgensinya?

Kompas.com - 08/02/2020, 13:09 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengumpulkan civitas akademika dari 9 perguruan tinggi di Indonesia untuk membahas sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang akan digelar serentak di 270 daerah pemilihan pada tahun ini.

Mereka diundang untuk membantu pemerintah melakukan riset akademis terkait evaluasi yang ingin dilakukan terhadap pemilu langsung.

Dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Jumat (7/2/2020), Mendagri menilai pilkada langsung memiliki sisi positif dan sebaliknya.

Selain berbiaya besar, pemilu langsung dianggap memunculkan konflik sosial berbasis identitas, masyarakat yang terbelah dan berpotensi mendatangkan kerawanan sosial.

"Biaya tinggi Pilkada secara langsung telah berpengaruh pada kualitas tata kelola kepemimpinan di daerah," kata Tito.

Dengan catatan-catatan ini, ia ingin melakukan evaluasi terhadap efektivitas pelaksanaan pilkada langsung yang sifatnya berbasis pada kajian akademis.

Baca juga: Pilkada Langsung atau Tidak, Mau Dibawa ke Mana Demokrasi Kita?

"Oleh karena itu, memang sudah sepatutnya perlu diadakan evaluasi terhadap efektivitas dari sistem pilkada langsung. Namun, kami ingin evaluasi itu dilakukan secara akademis oleh pihak independen eksternal, yakni universitas," kata Tito.

Seberapa besar urgensinya menelaah kembali mekanisme pemilu langsung?

Direktur Center for Media and Democracy Wijayanto mengatakan, satu-satunya yang perlu diperbaiki dalam sistem demokrasi adalah kedewasaan berpolitik para pelakunya, bukan sistem yang sudah tertata.

"Kita telah punya prosedur atau institusi demokrasi yang cukup tertata, namun budaya demokrasi kita masih belum cukup matang," ujar Wijayanto, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (8/2/2020).

Misalnya, masih terjadinya politik uang untuk jual-beli suara dalam proses pemilihan.

Menurut dia, politisi yang mencalonkan diri dan masyarakat yang mau menerima 'pemberian' ini berada di posisi yang sama, belum dewasa dalam memaknai demokrasi.

Baca juga: Sebut Pilkada Langsung Sangat Mahal, Kemendagri: Anggaran Daerah Bisa Habis Setelah Pemilihan

Politik uang sebelumnya juga terjadi di era pemilu dengan sistem perwakilan.

Kandidat memberikan uang kepada anggota dewan yang memilih calon yang ada.

Demokrasi melalui sistem pemilihan langsung yang ada saat ini merupakan wujud dari kejengahan publik atas dugaan praktik politik uang di balik meja legislatif itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com