KOMPAS.com - Kasus kekerasan terhadap guru yang berbuntut hukuman pidana bagi pelaku terjadi di SD Pabangiang, Gowa, Sulawesi Selatan pada Rabu (4/9/2019).
Adapun kasus kekerasan itu ramai dibicarakan di media sosial, sebab tindakan tersebut terekam dalam video singkat.
Diketahui, pelaku NV (20) dan APR (17) merupakan keluarga dari siswa yang berseteru dengan teman sekelasnya.
Kemudian, karena suatu hal guru yang berusaha melerai dua siswanya yang bertengkar itu justru dianiaya. Penganiayaan ini bahkan menimbulkan luka pada wajah sang guru.
Berangkat dari kejadian ini, apakah peran guru di sekolah sudah tidak dihormati sebagaimana pepatah: "Guru iku digugu lan ditiru (apa yang disampaikan senantiasa dipercaya dan menjadi panutan bagi muridnya)"?
Baca juga: Anak Disetrap, Istri Anggota DPRD Lombok Timur Ngamuk dan Diduga Pukul Guru
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Drs Koentjoro MBSc PhD mengungkapkan bahwa fenomena yang menimpa sang guru di Sulawesi merupakan ketidakmampuan orangtua untuk membedakan masalah yang dialami anaknya.
"Artinya gini, orangtua enggak bisa membedakan mana masalah anak dengan anak dan antara masalah anak dengan guru," ujar Koentjoro saat dihubungi Kompas.com pada Sabtu (7/9/2019).
Menurutnya, guru memang memiliki tanggung jawab membimbing anak di sekolah, tetapi tanggung jawab guru tidak sepenuhnya membimbing anak, melainkan orangtua juga memiliki tanggung jawab dalam membimbing anak.
"Mestinya kalau persoalan anak dengan anak ya diselesaikan anak dengan anak, minimal kalau minta bantuan sekolah itu minta bantuan untuk memediasi dengan antar orangtua dan dipastikan tidak melakukan penganiayaan terhadap guru," ujar Koentjoro.
"Namun, jika ada penganiayaan terhadap guru, saya kira kekeliruan orangtua di situ," kata dia.
Selain itu, menanggapi sikap orangtua yang ikut terlibat dalam permasalahan anak di sekolah, Koentjoro menganggap hal itu terjadi karena kebanyakan orangtua tidak paham betul tentang pendidikan keluarga.
Ia mengungkapkan, pendidikan keluarga merupakan salah satu metode dalam mendidik anak, selain di sekolah.
"Kalau Ki Hajar Dewantara itu dulu kan punya mindset 3 pusat pendidikan, yakni sekolah, keluarga, dan mayarakat," ujar Koentjoro.
Sementara, Koenjoro menyampaikan bahwa menurut data sekitar tahun 2014 sebanyak 23 juta kepala keluarga berpendidikan SD-SMP.
Menurutnya, pendidikan awal 9 tahun ini secara otomatis belum memiliki bekal cukup untuk mendidik anak-anaknya.