Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kongo dalam Bayang-Bayang Kelam Genosida

Kompas.com - 03/01/2024, 16:00 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Melintasi perjalanan sejarah Kongo, tragedi genosida muncul sebagai sebuah bab kelam.

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, Negara Kongo menyaksikan penderitaan dan perbudakan di bawah pemerintahan Raja Leopold II dari Belgia.

Eksploitasi sumber daya alam, pekerja paksa teraniaya, dan tindakan kejam oleh Force Publique menjadi poin-poin sentral yang berujung pada kasus genosida ini.

Dengan demikian, artikel ini akan membuka kembali lembaran kelam Genosida Kongo secara runtut.

Baca juga: Salah Satu Buron Terakhir Genosida Rwanda Dipastikan Tewas

Sebelum peristiwa genosida terjadi

Sebelum kolonisasi oleh Belgia dan tragedi genosida pada abad ke-19, dulunya Kongo mempunyai wilayah luas dengan hutan hujan terbesar kedua di dunia.

Penduduknya telah tinggal di sana selama ratusan tahun setelah bermigrasi dari Nigeria pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi dan banyak dari mereka membangun rumah di sekitar hutan.

Pemerintahannya terpusat dan negara ini dikenal sebagai Kerajaan Kongo.

Sebagian besar penduduknya adalah nelayan, pedagang, dan petani.

Para penyair dan seniman sangat dihargai di kerajaan tersebut, begitu pula para kepala suku.

Kerajaan Kongo juga mengembangkan wilayahnya melalui aliansi, pernikahan, dan kemitraan.

Hingga kemudian pada 1482, penjelajah Portugis tiba di Kerajaan Kongo. Kerajaan Kongo pun bersekutu dengan Portugis.

Paradoks dari aliansi ini terletak pada kenyataan bahwa Portugis, bersama dengan Inggris, Belanda, dan Perancis, mengeksploitasi banyak orang Kongo yang lahir bebas, baik dengan izin dari kepemimpinan kerajaan maupun tanpa izin.

Di mata orang Eropa, masyarakat Kongo dianggap rendah, sama seperti pandangan mereka terhadap negara-negara Afrika lainnya. 

Para pemimpin memanfaatkan ancaman ini sebagai strategi untuk menakuti dan mengendalikan bawahannya.

Baca juga: Bersama Brasil dan Kongo, Indonesia Berupaya Atasi Deforestasi

Koloni Belgia

Pada abad ke-19, Leopold II sebagai raja konstitusional Belgia, berusaha meyakinkan pemerintahan untuk mengkolonialisasi beberapa wilayah di Afrika.

Namun, usahanya tidak berhasil sehingga pada tahun 1880-an, ia memutuskan untuk menggunakan International African Association, organisasi kemanusiaan yang dibuat olehnya, agar bisa menjalankan rencananya.

Meskipun diklaim sebagai upaya kemanusiaan, niat Raja Leopold sebenarnya sangat jauh dari tujuan kemanusiaan. 

Hal tersebut karena Kongo pada masa itu merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya, khusus yang dapat menghasilkan keuntungan besar bagi negara Belgia.

Dengan dalih kemanusiaan, Leopold berhasil menguasai Kerajaan Kongo secara hukum, yang kemudian dinamai Negara Bebas Kongo.

Namun, karena keterbatasan dana publik Belgia, Leopold menjaga kepemilikan tersebut dengan menggunakan dana internal dari wilayah barunya.

Warga Kongo dipaksa untuk membayar upeti kepada Leopold, pendukungnya, dan negara Belgia.

Bahkan, bangunan-bangunan penting di Belgia, seperti Museum Kerajaan Afrika Tengah, dibangun dengan memanfaatkan pekerjaan tanpa upah dari Kongo.

Namun, kejadian yang paling mengerikan masih akan terjadi.

Negara Bebas Kongo tidak hanya menjadi sumber tenaga kerja di Eropa, tetapi  juga merupakan salah satu koloni Eropa yang paling banyak mengalami pertumpahan darah di Afrika.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com