KOMPAS.com - Sidang Istimewa MPRS adalah sidang yang diselenggarakan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia (MPR) atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sidang istimewa ini dilaksanakan apabila presiden dianggap telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan menyimpang dari Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dalam sidang ini, presiden akan dimintai pertanggung jawaban atas pelanggaran yang diperbuatnya.
Sidang Istimewa MPRS pertama kali dilaksanakan pada 7 Maret 1967.
Lantas, apa hasil Sidang Istimewa MPRS 1967?
Baca juga: Siapa yang Berhasil Menumpas G30S?
Sidang Istimewa pertama kali diadakan pada 1967 setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September.
Sebab, pasca-G30S, rakyat Indonesia mulai kehilangan kepercayaan terhadap Soekarno dan ia dianggap tidak mampu mengendalikan keamanan setelah pidato pertanggungjawabannya di depan MPRS, yang bertajuk Nawaksara dibacakan.
Pidato Nawaksara dibacakan di depan MPRS pada 22 Juni 1966.
Nawaksara berarti sembilan pokok masalah, yang berisi:
Baca juga: Nawaksara, Pidato Pertanggungjawaban Soekarno yang Ditolak MPRS
Sayangnya, pidato Nawaksara ini ditolak, karena dianggap cenderung memberikan amanat, bukan pertanggungjawaban sebagaimana diminta oleh MPRS.
Selain itu, dalam Nawaksara juga tidak disinggung sama sekali mengenai G30S.
Menindaklanjuti ketidaksempurnaan pidato ini, dilaksanakan Sidang Umum MPR pada 1967.
Lewat sidang ini, MPRS meminta Soekarno untuk memperbaiki pidato pertanggungjawabannya, yang kemudian direspons dengan pidato bertajuk "Pelengkap Nawaksara".
Akan tetapi, pidato pertanggungjawaban Soekarno kembali ditolak MPR, sehingga diputuskan bahwa pada 7 Maret 1967 akan dilakukan Sidang Istimewa MPRS.
Hasil Sidang Istimewa MPRS 1967 adalah Soekarno diturunkan dari jabatannya sebagai presiden dan kedudukannya diganti oleh Soeharto sebagai pejabat presiden.
Kemudian, hasil sidang istimewa dipertegas dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 yang sudah ditetapkan oleh Sidang Istimewa MPRS, yaitu:
Referensi: