Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Meicky Shoreamanis Panggabean
Dosen

Dosen Universitas Pelita Harapan

"Menggosipkan" Gosip

Kompas.com - 19/09/2023, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GOSIP sering dianggap negatif. Dalam kelompok masyarakat agamis, sangat mudah kita temukan mereka di negara ini, ada saja orang-orang yang spontan menggunakan ayat kitab suci saat masalah pergosipan diangkat.

Padahal, mereka mempercayai keberadaan setan. Mereka semestinya paham bahwa setan sekalipun punya kelebihan: Tekun dan kreatif.

Tak ada hal yang sepenuhnya baik, pun tak ada yang seluruhnya buruk. Oleh karena itu, mari kita telaah fenomena gosip dengan berimbang.

Mungkin banyak yang masih ingat Tilik, film pendek karya Ravacana Films yang viral pada 2018.

“Emang Fikri sama Dian beneran pacaran, ya?” adalah kalimat pertama yang terdengar jelas di film ini, kalimat-kalimat sebelumnya hanya lamat-lamat.

Tilik adalah produk kultural yang memberi penonton informasi mengenai bahasa, budaya, tradisi dan practical interests masyarakat setempat hanya dari celotehan gosip ibu-ibu tentang seorang perempuan bernama Dian.

Menurut Cole & Scrivener (2012), gosip adalah perbincangan tentang orang, tanpa kehadiran orang tersebut, khususnya terkait karakteristik dan perilakunya yang relevan dengan tujuan dan kepentingan dari orang yang menggosip dan kelompok sosialnya.

Melalui gosip, seseorang akan mampu mengidentifikasi dan mengekspresikan norma-norma sosial yang berlaku di lingkungan tempat ia berada. Dengan demikian, gosip menjadi alat kontrol sosial.

Dalam kajian sosiologi, gosip bahkan dianggap sebagai salah satu bentuk pengendalian sosial yang paling tradisional.

Si pendengar dan orang yang digosipkan akan mengetahui apa saja harapan masyarakat atas dirinya dan gosip juga memperjelas norma apa yang masih dipegang secara umum: Oh, masyarakat ternyata masih patriarkis (“Kamu jangan kayak tetangga sebelah, istrinya udah nggak bisa masak, gendut, nggak cantik lagi”). Ealah, walau Kapolri sudah bertindak keras dalam kasus Sambo ternyata masyarakat masih kurang percaya dengan integritas polisi (“Si Bapak polisi itu kemarin ngawal preman. Tumben, mau dikasih lima juta.”), dan lain-lain.

Kegunaan lain gosip adalah merekatkan pertemanan. Gosip menarik garis demarkasi antara ingroup dan outgroup.

Pertukaran informasi yang tadinya bersifat personal, hanya antara satu orang dengan orang yang lain, pada tingkat kelompok berkembang menjadi pengetahuan, norma, dan ikatan kepercayaan kelompok.

Gosip mengenai seseorang yang memfitnah rekan kerjanya sampai ke beberapa atasan bahkan HRD dan media sosial berpotensi membuat para ‘penerima’ gosip berterima kasih. Mereka merasa dibantu untuk berstrategi dalam menjalin pertemanan di kantor.

Gosip membantu pendengarnya dalam memperoleh gambaran umum mengenai lingkungan sosial mereka termasuk apa ekspektasi yang diletakkan di pundak mereka.

Sangat mungkin hanya sebagian orang yang diceritakan mengenai pengalaman difitnah tersebut dan dalam konteks itu, gosip akan memperkuat ikatan sosial dan solidaritas kelompok.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com