SEJAK kapankah orang-orang Nusantara mengunjungi Mekkah? Mungkin Dinasti Umayyah (661-750 M) sudah punya hubungan khusus ke negara-negara Asia Tenggara, karena dinasti itu sudah berkarakter global.
Namun tidak ada bukti tertulis dan barang nyata yang bisa ditafsiri. Pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (646-705 M) dikisahkan dalam banyak catatan Tarikh sangat progresif dalam hal ekspedisi, birokrasi, militer dan perluasan diplomasi.
Kadangkala, kita kurang mengantisipasi dan apresiasi kemampuan dan teknologi masa lalu. Padahal, seribu tahun sebelumnya, Romawi Kuno konon sudah ada tanda-tanda hubungan dengan Asia, bahkan Asia Tenggara, tidak hanya sampai Afrika dan Eropa.
Dunia global ini sudah lama terhubung, kita kurang menyadarinya. Arab sendiri merupakan bagian dari Romawi kuno abad empat Masehi (dua abad sebelum Islam), bahkan sudah bergabung dalam militer (legioner) emperium itu.
Kayu wangi, kapur barus, dan mungkin bumbu rempah sudah diekspor ke Eropa era sebelum Islam. Bahkan, empat ribu tahun yang lalu di Mesir kuno, bahan mumifikasi mayat juga menggunakan salah satu bahan Nusantara.
Orang-orang Jawwi, bukan merujuk pada etnis atau pulau Jawa saja, tetapi umumnya orang-orang Nusantara termasuk Pattani Thailand, Sulu, Bangsamoro Filipina Selatan, Malaysia dan Singapore, sudah lama dikenal di Jazirah Arab.
Azyumardi Azra (meninggal tahun lalu) dan Michael Laffan mengamati bahwa gerakan solidaritas nasib bangsa (nasionalisme atau patriotisme) Indonesia juga didorong oleh jaringan Timur Tengah (solidaritas sesama daerah Turki Utsmani).
Belanda kelihatan khawatir adanya gerakan perlawanan ditujukan mereka. Snouck Hurgronje (1857-1936) berkunjung ke Mekkah dan bahkan masuk Islam juga untuk meneliti haji, termasuk mengenal beberapa orang Nusantara.
Hubungan baik itu diteruskan ke Hindia Belanda (Indonesia waktu itu), terjadilah persahabatan yang terkenal itu antara mufti Betawi Sayyid Utsman (1822-1913) dan Hurgronje.
Di samping mobilisasi soal penghulu dan isu-isu keislaman di Jawa, mereka berdua juga mendapatkan tugas ikut mengoordinasi haji dengan pemerintah kolonial.
Haji merupakan sarana bertemunya banyak gagasan dan kesadaran solidaritas umat menghadapi Belanda.
Memang, nasionalisme Indonesia tidak semata-mata dibangun dari pendidikan Barat, seperti Tirtoadisuryo, Cokroaminoto, Abdul Rifai, Supomo, Dewantara, Noto Suroto, Sukarno, Hatta, Syahrir, dan kawan-kawan dalam pendidikan politik etis, balas budi.
Benar, koran, majalah, dan organisasi-organisasi nasionalisme dan kebangkitan pribumi banyak dimotori orang-orang berpendidikan Belanda. Namun kontribusi jaringan Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Mesir jelas terasa.
Sentimen wilayah kekhalifahan Turki di bangsa Muslim juga tampak, dalam hal identitas untuk menghadapi kolonialisme Eropa.
Hubungan dunia Arab dengan Indonesia tidak sekadar gagasan, jaringan, persahabatan, bahkan karir pun sempat terbangun.