Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Contoh Teks Persuasi Bertema Politik

Kompas.com - 17/11/2020, 17:30 WIB
Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
Arum Sutrisni Putri

Tim Redaksi

Sumber KBBI

KOMPAS.comTeks persuasi adalah karangan berisi ajakan dan bersifat membujuk. Berikut ini contoh teks persuasi bertema politik:

Contoh teks persuasi politik

Pernahkah kamu membaca sebuah tulisan, lalu merasa terpengaruh olehnya? Bisa jadi itu adalah teks persuasi atau teks persuasif.

Menurut KBBI, persuasi adalah ajakan kepada seseorang dengan cara memberikan alasan dan prospek baik yang meyakinkannya; bujukan halus; imbauan.

Teks persuasi adalah karangan yang berisi ajakan untuk meyakinkan pembaca agar mengikuti anjuran atau ajakan si penulis.

Teks persuasi sebisa mungkin menghindari konflik. Hal tersebut berguna untuk membangun kepercayaan antara penulis dengan pembaca.

Baca juga: Teks Persuasi: Pengertian, Tujuan, Ciri-ciri dan Jenisnya

Berikut ini contoh teks persuasi tentang politik:

Contoh 1:

Salah satu hak warga negara adalah memiliki hak pilih. Warga berhak memilih calon legislatif dan eksekutif yang akan mewakili mereka di pemerintahan. Penggunaan hak pilih ini biasanya dirayakan dalam pesta demokrasi, yaitu pemilu. Hak pilih harusnya digunakan dengan bijak.

Sebelum memutuskan menggunakan hak pilih, kita perlu mengetahui visi dan misi calon legislatif dan eksekutif. Cermati rekam jejaknya, sehingga kita bisa mengira-ngira sejauh mana kompetensi dan kredibilitas calon. Serta pelajari, bagaimana dampak dari kebijakan yang akan mereka rancang. Jangan memilih berdasarkan popularitas saja, tetapi pertimbangkan latar belakangnya.

Pada pesta demokrasi mendatang, gunakan hak pilihmu dengan bijak. Pilih wakil rakyat dan pemerintah yang betul-betul merepresentasikan suaramu. Gunakan hal pilih dengan jujur, bebas, dan adil. Mari memilih!

Baca juga: Struktur Teks Persuasi

Contoh 2:

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih risih dengan golongan putih (golput). Ada pandangan bahwa golput adalah bentuk apatisme atau pembangkangan. Pandangan tersebut kurang benar.

Warga memilih golput karena beberapa alasan. Bisa jadi akses dan fasilitas saat pemilihan umum tidak merata, sehingga sebagian warga tidak dapat memakai hak pilihnya. Namun golput juga bisa didasari oleh pilihan sadar. Golput muncul dari kekosongan sosok yang dirasa mampu untuk memimpin. Setelah melacak jejak, mempelajari visi dan misi calon wakil rakyat atau pemerintah, rupanya tidak ada yang sesuai dengan suaranya. Besarnya jumlah golput juga menandakan ada sesuatu yang salah dengan sistem yang ada dalam suatu negara.

Maka, golput tidak serta merta menjadi apatis atau apolitis. Mereka memilih untuk tidak memilih. Sebagai warga negara yang baik, kita seharusnya menghargai perbedaan tersebut. Jangan saling mencaci atau merasa paling benar. Mari ambil peran masing-masing dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca juga: Contoh Teks Persuasi Propaganda

Contoh 3:

Semasa Orde Baru, kita mengenal adanya dwifungsi ABRI. Selain menjaga keamanan negara, tentara memiliki hak khusus untuk memegang kekuasaan. Kini kebijakan tersebut sudah tidak ada. Tetapi kursi-kursi kekuasaan masih saja dipegang oleh mereka yang dulunya memiliki peran dalam militer atau keamanan negara.

Tidak cukup hanya militer, rezim Joko Widodo mulai menempatkan aparat keamanan, seperti kepolisan pada posisi-posisi penting. Meski orang-orang itu memutuskan untuk mengundurkan diri dari militer atau kepolisian, tetap saja institusi tersebut melekat dalam diri mereka. Jumlah mereka dominan dibanding jumlah akademisi, peneliti, sastrawan, atau seniman yang menduduki kursi pemerintahan.

Seharusnya pemilihan menteri, ketua komisi, atau jajaran lainnya harus memperhatikan latar belakang. Kita tidak ingin menjalankan kehidupan bernegara dengan pendekatan militer seperti Orde Baru. Kita perlu jeli, apakah mereka betul-betul kompeten atau hanya siasat untuk membagi kekuasaan pada lingkaran yang sama.

Baca juga: Contoh Teks Ceramah Singkat

Contoh 4:

Berbagai rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam prolegnas. Ada satu RUU Kekerasan dan Pelecehan Seksual yang menjadi perhatian warga dan berbagai organisasi pembela hak perempuan. Bukannya segera mengesahkan RUU yang dibutuhkan rakyat, DPR malah membahas RUU kontroversial, RUU Larangan Minuman Berarkohol.

Dari kedua RUU ini, terlihat sekali bagaimana suara kelompok mayoritas dapat memengaruhi pemerintahan. RUU Kekerasan dan Pelecehan Seksual tidak segera disahkan karena beberapa kelompok masyarakat masing menanamkan budaya patriarkis yang kuat dalam diri mereka. Sementara, RUU Larangan Minuman Beralkohol diajukan karena kelompok tersebut menganggap minuman beralkohol menyalahi norma. Seolah semua orang yang mengonsumsi alkohol adalah kriminal.

Baiknya negara tidak perlu terlalu ikut campur soal moral warga negara. Mengonsumsi alkohol menjadi adat, tradisi, bahkan ritus keagamaan tertentu. Daripada melarang, bukankah lebih baik membatasi dan mengawasi regulasinya dengan tepat. Mari periksa lagi kepentingan apa yang coba diusung melalui RUU yang ada. Apakah hanya berpihak pada kelompok mayoritas, atau memperhatikan kesetaraan hak warga negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com