Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Istilah Gudeg: Dari Prajurit Mataram hingga Sebutan "It's Good, Dek"

Kompas.com - 11/10/2020, 13:00 WIB
Serafica Gischa

Penulis

KOMPAS.com - Gudeg menjadi salah satu makanan favorit dengan cita rasa cenderung manis. Makanan ini menjadi salah satu ikon kuliner di Yogayakarta.

Terdapat beberapa versi terkait pemberian nama gudeg, mulai dari prajurit Mataram hingga salah satu orang Inggris yang tinggal di Jawa, tepatnya Yogyakarta.

Prajurit Mataram

Dilansir dari Kompas.com, seorang ahli gizi Pusat Makanan Tradisional Universitas Gajah Mada (UGM) Murdijati Gardjito, menjelaskan bahwa gudeg sudah ada sejak Yogyakarta pertama di bangun atau sejak 1819-1820. Sekaligus menjadi masakan merakyat di Jawa, termasuk Yogyakarta.

Sekitar abad ke-16, prajurit Kerajaan Mataram mebuka hutan belantara yang terletak di Kotagede untuk pembangunan kerajaan. Dalam hutan tersebut terdapat banyak pohon nangka dan kelapa.

Baca juga: Sejarah Tahu: Bukan dari Indonesia

Karena jumlah prajurit cukup banyak, maka nangka dan kelapa dimasak dalam jumlah yang banyak. Proses memasaknya disebut hangudek, artinya mengaduk. Dari kata tersebutlah tercipta nama makanan dengan sebutan gudeg.

It's good, dek

Versi lain penyebutan gudeg juga diceritakan dalam buku Indonesia Poenja Tjerita (2016) karya Sejarah RI, konon pada zaman penjajahan Inggris, seorang warga negara Inggris menikah dengan perempuan Jawa dan menetap di Yogyakarta.

Warga negara Inggris tersebut selalu memanggil istrinya dengan sebutan dek. Suatu hari sang istri teringat akan resep turun-temurun keluarganya untuk memasak menggunakan bahan nangka muda.

Sepulang kerja, si suami yang merasa senang dengan masakan sang istri langsung melahap makanan dengan bahan nangka muda dan santan kelapa tersebut.

Selesai makan, suami tersebut berkata dengan keras, "good, dek. Its's good, dek."

Baca juga: Es Krim, Sejarah dan Perkembanganya

Merasa tekejut, sang istri kemudian bercerita ke tetangga dan teman-temannya bahwa suaminya senang dengan masakan resep turun-temurun tersebut.

Dan berkata bahwa sang suami selalui bilang "good, dek". Konon, dari sinilah makanan nangka muda itu disebut dengan gudeg.

Setya Utomo atau dikenal mbah Lindu saat berjualan Gudeg di jalan Sosrowijayan Kota YogyakartaKOMPAS.com/ Wijaya kusuma Setya Utomo atau dikenal mbah Lindu saat berjualan Gudeg di jalan Sosrowijayan Kota Yogyakarta
Lebih nikmat, ketika dimasak berkali-kali

Gudeg menjadi pilihan ketika Jawa mengalami kesulitan akibat tanam paksa oleh Belanda. Saat itu nangka muda sangat mudah diperoleh.

Memiliki tekstur yang dianggap menyerupai daging dan dijadikan makanan pengganti daging. Gudeng juga menjadi salah satu makanan yang justru semakin nikmat setelah dimasak berkali-kali.

Pada saat penjajahan, komoditas pertanian menjadi salah satu ladang ekonomi yang diandalkan. Namun, keberadaan nangka justru diabaikan dan dinilai tidak memiliki nilai jual.

Baca juga: Sejarah Sumpit, Asal-usulnya hingga Menjadi Ikon Kuliner Asia

Karena hal itu, Belanda memberikan keleluasaan warga untuk memanfaatkan nangka muda sebagai bahan makanan. Saat itu mulailah produk nangka menjadi makanan rakyat.

(Sumber: KOMPAS.com/Sri Anindiati Nursastri | Editor: I Made Asdhiana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com