Oleh: Mukhlisi
SEBUAH kawasan hutan dengan vegetasi yang lebat tidak menjamin bahwa kondisinya sedang baik-baik saja.
Bahkan, ketika area tersebut diisi dengan tegakan pohon yang beragam serta memiliki diameter raksasa pun tidak selalu merepresentasikan status ekologisnya sedang prima.
Baca juga: Sejak Kapan Ada Hutan di Bumi?
Tanpa orkestra suara satwa yang mengiringi tiap sudut rimba, maka sebuah ekosistem hutan dapat dianggap “kurang sehat” dari aspek biodiversitas.
Alam telah bekerja dengan mengeluarkan suara sebagai pertanda yang sebetulnya dapat dipahami manusia untuk upaya konservasi keanekaragaman hayati.
Beberapa dekade lalu seorang penulis, Kent H. Redford (1992) telah menggambarkan fenomena hutan utuh tapi sepi dengan istilah “The empty forest syndrome”.
Istilah lainnya, “Silent forest syndrome” juga kerap digunakan untuk menjelaskan situasi yang serupa, terutama hilangnya suara burung yang berkicau dari banyak kawasan hutan.
Satwa bersuara sebagai ekspresi emosional, reproduksi, komunikasi, dll. Suara yang menjadi redup bahkan menghilang dari dalam hutan mengindikasikan hal tidak baik sedang terjadi, karena ini artinya populasi dan keragamannya berkurang.
Kondisi ini bisa disebabkan oleh perburuan liar, perubahan iklim, atau tekanan antropogenik lainnya.
Acoustic monitoring adalah salah satu metode pengamatan biodiversitas berbasis suara yang dihasilkan oleh alam, terutama satwa liar (biophony).
Sebetulnya, pendekatan ini telah berkembang sejak lebih dari 50 tahun lalu yang awalnya lebih banyak digunakan untuk observasi mamalia laut.
Dalam konteks prilaku hewan, bidang studi ini kemudian lebih dikenal sebagai bioakustik sedangkan dalam konteks hubungannya antara suara dengan berbagai elemen lingkungan lebih dikenal sebagai ekoakustik.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim, Pohon Hutan Hujan Tropis Gagal Berfotosintesis
Seiring perkembangan teknologi yang semakin maju, kini acoustic monitoring berkembang jauh lebih pesat dari masa lalu dengan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu lainnya, seperti fisika akustik, kecerdasan buatan, machine learning, teknologi informasi, dll.
Pada prinsipnya, ini adalah perkawinan ilmu biologi dengan disiplin ilmu lainnya sehingga menjadi lebih kompleks dan berkembang.
Dalam aplikasinya di lapangan, koleksi data suara dapat dilakukan baik secara active maupun passive monitoring dengan memanfaatkan alat sound recorder. Active monitoring dilakukan ketika seorang pengamat bergerak secara aktif merekam mencari sumber suara.