Oleh: Ni Ketut Aryastami
HARI Gizi Nasional diperingati setiap tanggal 25 Januari. Tujuannya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi seimbang bagi masyarakat Indonesia.
Baca juga: 3 Masalah Gizi di Indonesia, Asupan Protein Hewani jadi Kunci Mengatasinya
Peringatan hari Gizi diawali dengan terbentuknya Juru Penerang Makanan oleh Lembaga Makanan Rakyat pada 25 Januari 1960, sebagai cikal bakal pengkaderan tenaga gizi di Indonesia.
Setelah mengalami sejarah panjang pergizian masyarakat di Indonesia, banyak masalah gizi yang berhasil diturunkan seperti masalah gizi buruk marasmus dan kwashiorkor, masalah gondok karena kekurangan zat Yodium, masalah kebutaan karena kurang vitamin A, dan masalah gizi mikro lainnya seperti penyakit beri-beri, dan lain-lain.
Beban ganda masalah gizi diartikan sebagai masalah gizi kurang dan gizi lebih yang terjadi pada suatu periode yang bersamaan.
Menurut pakar Barry Popkins dalam jurnal Lancets 2020, Indonesia menjadi negara dengan beban yang paling besar terkait beban ganda masalah gizi.
Bagaimana kita mampu mengatasi masalah tersebut, khususnya dengan target prevalensi stunting 14 persen dalam sisa waktu relative lima tahun (2024), dan prevalensi pada tahun 2018 menurut data Riskesdas sebesar 30,8 persen?
Transisi masalah gizi erat kaitannya dengan keberhasilan pembangunan sebuah negara. Keberhasilan pembangunan telah membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
Sayangnya, dinamika ini tidak lantas berdampak pada status kesehatan yang serta-merta positif.
Baca juga: Studi: Kekurangan Gizi Masih Jadi Masalah Kesehatan Anak-anak di Asia Tenggara
Setidaknya terjadi pergeseran kemampuan masyarakat dibidang akses (misal: daya beli, pelayanan kesehatan, transportasi); asupan gizi konotasinya akan menjadi lebih baik karena masyarakat lebih mampu. Masalah gizi kurang atau gizi buruk menurun, dan terjadi peningkatan status gizi masyarakat.
Transisi masalah gizi juga membawa dampak ironis terhadap resiko penyakit. Pola masyarakat yang sibuk dan bersaing dengan waktu, khususnya di perkotaan, menyebabkan masyarakat berfikir praktis; misalnya mengkonsumsi makanan pabrikan yang sudah diolah, dan kurang melakukan aktifitas fisik.
Seiring waktu teknologi yang semakin canggih turut menstimulasi perkembangan industri makanan yang semakin bervariasi dengan multi rasa tradisional maupun modern.
Bila proses food menjadi andalan asupan rutin maka istilah asupan gizi yang dengan makanan sehat, seimbang dan bervariasi dapat tertinggal dan hanya menjadi sebuah slogan.
Masalah diatas merupakan tanggung jawab kita bersama, tanggung jawab pemerintah secara lintas sector.
Salah satu wabah yang baru saja menimpa dunia (Covid-19) telah berhasil merubah pola kehidupan masyarakat. Yang biasa bekerja keluar/ke kantor, sekarang kebanyakan work from home, yang tentunya secara kesehatan masyarakat bisa membawa dampak sedentary atau kurang bergerak, dan obesitas dengan persepsi masyarakat awam sebagai makan lebih banyak agar tidak terinfeksi covid.