Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Kusta Sedunia, Ini 4 Mitos Kusta yang Tidak Perlu Dipercaya

Kompas.com - 31/01/2022, 19:03 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hari Kusta Sedunia (HKS) diperingati setiap Minggu terakhir Januari, di mana pada tahun ini peringatan tersebut jatuh pada 30 Januari 2022.

Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan penderita kusta terbanyak, setelah India dan Brasil.

Berdasarkan data yang dihimpun Kemenkes per tanggal 24 Januari 2022 mencatat jumlah kasus kusta terdaftar yakni 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus.

Baca juga: 3 Cara Mudah Mendeteksi Dini Kusta agar Tidak Sampai Cacat

Kementerian Kesehatan RI dalam peringatan HKS tahun ini mengangkat tema Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Kusta.

"Untuk itu, melalui tema nasional 'Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Kusta', peringata HKS 2022 mengajak seluruh elemen bangsa untuk menggalakkan kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sebagai upaya untuk mencapai eliminasi kusta," tulis Kemenkes dikutip dari akun resminya, Senin (31/1/2022).

Tema ini diangkat karena kusta sering dianggap sebagai penyakit kutukan, keturunan, penyakit orang miskin dan lain sebagainya. Berbagai pemikiran tersebut, banyak masyaralat yang salah persepsi tentang penyakit yang satu ini.

Berikut 4 mitos tentang kusta yang tidak perlu dipercaya.

1. Kusta penyakit kutukan

Ketua Kelompok Studi Morbus Hansen (Kusta), Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Dr dr Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K) yang akrab disapa dr Dini mengatakan, mitos yang paling banyak dipercaya masyarakat terkait kusta adalah penyakit kutukan.

Dini dalam pemberitaan Kompas.com edisi 9 September 2019 menegaskan, kusta bukan disebabkan oleh kutukan, guna-guna, makanan atau penyakit keturunan seperti yang masih banyak dipercaya oleh masyarakat saat ini.

"Kusta ini bukan penyakit kutukan seperti yang dipikirkan orang-orang yang belum tahu itu, karena kusta ini penyebabnya jelas, pengobatannya juga ada, cuma mereka (penderitanya) saja yang kadang tidak tahu kalau mereka kena gejala kusta dan terlambat mengobatinya," ujar dr Dini. 

Kusta adalah penyakit menular menahun atau infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman kusta, yaitu mycobacteriu leprae.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkategorikan kusta sebagai salah satu Penyakit Tropis Terabaikan (NTD) yang ada di Indonesia, yang paling sering bermanifestasi pada jaringan kulit. Penyakit ini juga menyerang saraf tepi, dan organ tubuh lainnya.

Penularan dapat terjadi karena kontak lama, 3-5 tahun atau lebih lama, antara penderita kusta yang tidak diobati kepada orang yang sehat melalui pernapasan. 

Itulah sebabnya, tidak semua orang serta merta tertular kusta begitu berkontak dengan penderita. Secara statistik, hanya lima persen saja yang akan tertular. 

Dokter Dini pun berkata, bahwa penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang paling rendah penularannya. Anggota keluarga pun tertular jika penderitanya tidak minum obat secara teratur.

2. Penyakit orang miskin 

Banyak orang menganggap kusta sebagai penyakit orang miskin saja. Padahal, seperti disampaikan oleh Dini, penyakit ini bisa menyerang semua golongan sosial dan ekonomi masyarakat. 

"Di Jakarta ini, bahkan banyak golongan masyarakat menengah ke atas yang terkena kusta. Kusta bukan penyakit orang miskin saja kok," tegas dr. Dini. 

"Kan bakteri kusta ini ataupun bakteri penyakit lain itu sangat mudah menyerang kalau daya tahan tubuh sedang tidak baik, Ya kayak orang kebanyakan di Jakarta yang lelah kerja, lelah macet, timbul stres dan lainnya, jadi imunitasnya berkurang. Itu bisa sekali memicu siapa saja terinfeksi bakteri apa pun," imbuh dr Dini.

Baca juga: Bisa Dicegah dan Obatnya Gratis, Kok Kusta Masih Ada di Indonesia?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com