Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Penyakit Paru Obstruksi Kronik, dari Gejala hingga Faktor Risiko

Kompas.com - 27/11/2020, 07:00 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) memicu keluhan di saluran pernapasan manusia dan harus diwaspadai karena dapat menyebabkan kematian.

PPOK adalah penyakit kronik sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia. Penyakit ini merupakan penyebab kematian keempat terbanyak di dunia.

Dokter Spesialis Paru, Konsultan Asma, dan PPOK RSUP Persahabatan, dr Budi Antariksa SpP(K) PhD mengatakan, sama halnya dengan Covid-19, PPOK adalah penyakit yang menyerang saluran pernapasan manusia.

PPOK ini juga merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejumlah penyakit yang menyerang paru-paru untuk jangka panjang.

Baca juga: Mengenal Kanker Lambung, dari Gejala hingga Faktor Risikonya

"Penyakit kronis saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara, khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat, di mana semakin lama akan semakin memburuk," kata Budi dalam diskusi daring bertajuk Pejuang Penyakit Paru di Tengah Pandemi Covid-19 sekaligus peluncuran @seluruhnapas, Rabu (18/11/2020).

Menurut data prevalensi riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013, diperkirakan ada lebih dari 10 juta orang yang hidup dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) di Indonesia.

Mayoritas penderita PPOK memiliki riwayat merokok atau hidup di area dengan populasi udara yang buruk. 

Karena hal itu, penderita PPOK ini lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita.

Gejala PPOK

Di tengah pandemi Covid-19 ini, penyakit saluran pernapasan seperti PPOK ini memang agak sulit dibedakan.

Namun, Anda tetap harus mencurigai atau waspada jika tubuh Anda telah mengalami beberapa keluhan sebagai berikut:

  • Sesak napas yang bertambah ketika beraktivitas (lebih berat pada usia lanjut)
  • Pernah mengalami sesak napas yang disertai batuk berdahak
  • Mengi, yakni suara siulan bernada tinggi yang muncul saat bernapas.
  • Kelebihan lendir dari paru-paru
  • Batuk kronis yang menghasilkan lendir (dahak) yang mungkin jernih, putih, kuning atau kehijauan
  • Kuku dan bibir pucat
  • Penurunan berat badan secara drastis
  • Pembengkakan pada kaki atau pergelangan kaki

IlustrasiShutterstock Ilustrasi

Orang dengan PPOK juga cenderung akan mengalami eksaserbasi yaitu kondisi gejala mereka menjadi lebih buruk daripada biasanya, dan ini terjadi selama beberapa hari.

Faktor risiko PPOK

Umumnya, PPOK disebabkan oleh kebiasaan merokok dan polusi udara, baik di dalam maupun di luar ruangan.

Namun, ada beberapa faktor risiko lainnya yang juga dapat memicu seseorang mengidap PPOK, antara lain:

  • Faktor genetik (riwayat keluarga atau keturunan)
  • Jenis kelamin (paling banyak adalah pria, karena berkaitan dengan rokok)
  • Hipersekresi mukus
  • Hiperresponsif saluran napas
  • Merokok
  • Status sosial-ekonomi (umumnya berkaitan dengan tempat tinggal/ udara dalam ruang yang sering terhirup)
  • Pekerjaan
  • Usia pertengahan biasanya di atas 45 tahun
  • Penyakit pada masa kanak-kanak
  • Infeksi saluran napas berulang
  • Polusi lingkungan

Baca juga: Wasir: Gejala, Penyebab, dan Cara Mencegahnya

Budi menyebutkan, faktor risiko PPOK di Indonesia termasuk tinggi mengingat prevalensi perokok di Indonesia peringkat 3 besar terbanyak di dunia.

Data General Agreement on Trade in Services (GATS) 2013 menunjukkan prevalensi perokok di Indonesia usia di atas 15 tahun adalah 67 persen untuk laki-laki (pria).

"Makanya berhenti merokok itu bermanfaat dalam menghentikan laju penyakit (PPOK, kanker, kardiovaskular dll)," ujar Budi.

Serta, semakin segera teridentifikasi PPOK yang dialami oleh seseorang, maka penalatalaksanaan PPOK yang baik juga akan meningkatkan kualitas hidup penderitanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com