Oleh: Andrew Read dan David Kennedy
OBAT pertama untuk melawan virus HIV mampu menyelamatkan pasien-pasien yang sekarat.
Namun seiring langkah para dokter yang bersemangat untuk memberikan obat ajaib itu pada pasien-pasien baru, keajaiban itu sirna. Pada setiap pasien baru, obat itu hanya mujarab sebentar saja.
Ternyata obat itu memang sangat ampuh membunuh virus, tapi si virus lebih mampu berevolusi untuk menjadi kebal terhadap obat itu.
Sebuah mutasi spontan dalam material genetik virus itu membuat obat itu tidak bekerja, sehingga virus-virus mutan dapat berkembang biak sangat cepat walau pasien sudah diberi obat. Akibatnya pasien sakit kembali.
Dari situ, butuh 10 tahun hingga para ilmuwan menemukan perawatan yang mampu mengatasi evolusi virus.
Akankah hal yang sama terjadi pada vaksin Covid-19? Apakah vaksin yang aman dan efektif dalam uji coba bisa gagal karena virus telah berevolusi?
Karena para ahli microbiologi evolusi telah menemukan adanya virus ayam yang resisten terhadap dua vaksin yang berbeda, kita tahu kemungkinan ini bisa terjadi.
Namun, kita juga tahu apa yang kira-kira dapat mencegah kegagalan ini.
Vaksin Covid-19 bisa gagal kalau mereka tidak memiliki kemampuan-kemampuan tertentu.
Sepanjang sejarah, manusia cukup beruntung: sebagian besar vaksin manusia tidak gagal akibat evolusi organisme mikro.
Contohnya, virus cacar mampu dibasmi karena virus itu tidak dapat berevolusi melawan vaksin cacar, dan tidak ada galur virus campak yang mampu mengalahkan kemampuan imun yang dihasilkan lewat vaksin campak.
Tapi ada satu pengecualian. Sebuah bakteri yang menyebabkan pneumonia berhasil berevolusi dan menjadi resisten terhadap suatu vaksin. Mengembangkan dan mengganti vaksin tersebut memakan banyak biaya dan waktu. Butuh waktu tujuh tahun dari munculnya galur yang resisten hingga penerbitan vaksin baru.
Belum ada kegagalan lain dalam vaksin manusia, tapi ada beberapa petunjuk bahwa virus, bakteri, dan parasit berevolusi merespons vaksin.
Mutan yang berhasil menghindar dari imunitas yang dihasilkan vaksin sering diamati dalam mikroba yang menyebabkan hepatitis B dan pertussis (batuk rejan).