Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Perlukah Lembaga Peradilan Menggunakan Artificial Intelligence? (Bagian I)

Kompas.com - 28/03/2024, 10:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MASIFNYA perkembangan teknologi digital mendorong berbagai negara mulai menerapkan Artificial Intelligence (AI) untuk tugas-tugas pengadilan.

Uni Eropa misalnya, dalam pemanfaatan AI di lembaga Yudikatif, terlebih dulu telah menetapkan regulasi dan pedoman etika penggunaannya.

Penetapan dasar hukum dan pedoman ini menjadi unsur utama, di samping membangun platform digital berbasis AI untuk pengadilan. Pemanfaatan AI di pengadilan tentu sangat berbeda dan memiliki karakteristik khusus.

AI di pengadilan

Pertama, yang harus dipahami jika ingin menerapkan AI di pengadilan, adalah mengetahui kebutuhan pengadilan itu sendiri.

Jika pengadilan dihadapkan pada tumpukan perkara, keterbatasan jumlah hakim dan panitera, serta target waktu penyelesaian kasus yang ketat, maka tentu AI akan menjadi kebutuhan dan solusi.

Hal ini berbeda dengan model lembaga ajudikasi non litigasi seperti lembaga Arbitrase. Karena mungkin jumlah perkaranya tidak semasif pengadilan akibat dibatasi oleh kompetensi absolutnya dan sifatnya pengadilannya yang tertutup.

Terlepas dari feneomena penggunaan AI seperti Guangzhou China, misalnya, lembaga Arbitrase di Indonesia untuk saat ini akan lebih membutuhkan infrastruktur platform digital berupa court room, sebatas untuk memenuhi proses persidangan online, konversi voice to text, translasi online, dan tidak berupa chatbot berkekuatan AI.

Kedua, terkait teknologi apa yang paling tepat digunakan. Harus dipahami bahwa tidak semua platform digital itu berkekuatan atau berbasis AI.

Untuk pengadilan yang menangani begitu banyak perkara seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, keberadaan teknologi berbasis AI menjadi relevan.

Untuk MK dan MA, model platform AI yang diperlukan tidak hanya sebatas platform AI untuk manajemen dan administrasi serta fasilitasi ruang sidang, seperti proses persidangan online, konversi voice to text, translasi online. Ke depan diperlukan juga chatbot GenAI untuk fasilitasi para hakim dan panitera dalam menangani substansi perkara.

Ketiga, AI yang digunakan harus users familiar. Mudah digunakan dan tidak merepotkan penggunanya.

Seperti dipahami bahwa AI Generatif seperti chatbot sangat tergantung pada instruksi dan pertanyaan yang tepat. Halusinasi AI kerap dipicu karena mis-komunikasi antara AI dan manusia penggunanya.

Keempat, unsur Legal Compliance atau kepatuhan hukum adalah hal yang tak dapat ditawar. Apalagi jika AI diterapkan di lembaga Yudikatif yang sarat persoalan hukum.

Perlu ditetapkan pedoman dan kriteria bidang apa saja yang dapat menjadi cakupan penerapan AI dan bidang apa yang menjadi kobolehan dan ketidakbolehan.

Hal-hal yang menjadi etika dan kepatutan, juga termasuk yang harus ada dalam regulasi implementasi dan pedoman internal lembaga pengadilan di ranah ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com