Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Royyan Mahmuda
ASN Kementerian Hukum dan HAM

Penegak Hukum, Pengajar dan Pegiat Literasi

Putusan Bebas Haris dan Fatia Berdasar Perspektif Hukum Kritis

Kompas.com - 11/01/2024, 10:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PUTUSAN bebas terhadap Haris Azhar dan Fatia Malidiyanti oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) menumbuhkan secercah harapan di awal tahun 2024 bagi perkembangan dan kemajuan hukum di Indonesia.

Putusan bebas perkara No.202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No.203/Pid.sus/2023/PN Jkt.Tim itu diapresiasi banyak kalangan, tak hanya organisasi masyarakat sipil, tapi juga sejumlah lembaga negara.

Selama ini, pemidanaan di Indonesia sangat dipengaruhi paradigma positivistic hukum yang lahir pada era modern.

Positivistik hukum seringkali menjadi kendala bagi hakim untuk melakukan terobosan hukum (rule breaking) dalam konteks pidana.

Hukum hanya dipandang sebatas hitam putih peraturan saja, bukan nilai moral (grud norm) yang hidup di tengah masyarakat.

Namun, hadirnya putusan ini menandakan hakim di Indonesia mengalami perkembangan pemikiran hukum yang bernuansa post-modern.

Salah satu paradigma post-modern menekankan tidak ada satu pemikiran hukum yang terpisah dengan nilai (value), bahkan antara hukum dan value terintegrasi, bahkan terkoneksi antara satu dan lainnya. (Weruin 2018)

Studi hukum kritis (CLS)

Di antara aliran pemikiran hukum yang hadir di era post-modern adalah "Critical Legal Studies" (CLS).

Teori ini digagas oleh Roberto M. Unger pada 1977, dalam pertemuan kecil di Madison, Wisconsin, Amerika Serikat (Rondonuwu 2014).

Teori ini menganggap bahwa positivistic hukum gagal dalam memainkan peran untuk menjawab permasalahan yang ada.

CLS menolak perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value) yang merupakan karakteristik paham positivistic hukum. Karena antara fakta dan nilai akan saling berkaitan satu dan lainnya. (Dardono 2015)

CLS berusaha membuktikan di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan persoalan ekonomi.

Doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan (power), baik itu kekuatan ekonomi, sosial maupun politik (M. Unger 2012).

Roberto M. Unger bahkan menggambarkan bahwa “ketika seorang hakim memutus perkara, mereka tidak dalam posisi netral. Ada banyak faktor yang memengaruhi mereka, mulai hal terkecil seperti apa yang mereka makan saat sarapan, bagaimana mereka berangkat menuju pengadilan, dengan siapa mereka bertemu sebelum persidangan, hingga apa kepercayaan yang mereka yakini” (M. Unger 2012).

Unger menekankan bahwa seorangan hakim yang mengambil putusan yang menentukan nasib seseorang tidak akan bisa bebas nilai sebagaimana yang digaungkan paradigma positivistic-formal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com