Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Putusan Bebas Haris dan Fatia Berdasar Perspektif Hukum Kritis

Putusan bebas perkara No.202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No.203/Pid.sus/2023/PN Jkt.Tim itu diapresiasi banyak kalangan, tak hanya organisasi masyarakat sipil, tapi juga sejumlah lembaga negara.

Selama ini, pemidanaan di Indonesia sangat dipengaruhi paradigma positivistic hukum yang lahir pada era modern.

Positivistik hukum seringkali menjadi kendala bagi hakim untuk melakukan terobosan hukum (rule breaking) dalam konteks pidana.

Hukum hanya dipandang sebatas hitam putih peraturan saja, bukan nilai moral (grud norm) yang hidup di tengah masyarakat.

Namun, hadirnya putusan ini menandakan hakim di Indonesia mengalami perkembangan pemikiran hukum yang bernuansa post-modern.

Salah satu paradigma post-modern menekankan tidak ada satu pemikiran hukum yang terpisah dengan nilai (value), bahkan antara hukum dan value terintegrasi, bahkan terkoneksi antara satu dan lainnya. (Weruin 2018)

Studi hukum kritis (CLS)

Di antara aliran pemikiran hukum yang hadir di era post-modern adalah "Critical Legal Studies" (CLS).

Teori ini digagas oleh Roberto M. Unger pada 1977, dalam pertemuan kecil di Madison, Wisconsin, Amerika Serikat (Rondonuwu 2014).

Teori ini menganggap bahwa positivistic hukum gagal dalam memainkan peran untuk menjawab permasalahan yang ada.

CLS menolak perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value) yang merupakan karakteristik paham positivistic hukum. Karena antara fakta dan nilai akan saling berkaitan satu dan lainnya. (Dardono 2015)

CLS berusaha membuktikan di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan persoalan ekonomi.

Doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan (power), baik itu kekuatan ekonomi, sosial maupun politik (M. Unger 2012).

Roberto M. Unger bahkan menggambarkan bahwa “ketika seorang hakim memutus perkara, mereka tidak dalam posisi netral. Ada banyak faktor yang memengaruhi mereka, mulai hal terkecil seperti apa yang mereka makan saat sarapan, bagaimana mereka berangkat menuju pengadilan, dengan siapa mereka bertemu sebelum persidangan, hingga apa kepercayaan yang mereka yakini” (M. Unger 2012).

Unger menekankan bahwa seorangan hakim yang mengambil putusan yang menentukan nasib seseorang tidak akan bisa bebas nilai sebagaimana yang digaungkan paradigma positivistic-formal.

Maka, sebenarnya nilai yang berada di luar aspek hukum akan sangat memengaruhi keputusan itu.

Oleh karena itu, hakim dalam memutus masalah hukum harus selalu melihat konteks pelaku dan korban di luar aspek hukum. Perlu diperhatikan juga aspek lainnya, baik psikologis, sosial maupun norma yang hidup dalam masyarakat.

Moralitas hukum

Gnaeus Domitius Annius Ulpianus (170-223), seorang ahli hukum masa Romawi, pernah merumuskan apa yang disebut dengan natural law, yang memiliki tiga prinsip utama, yaitu Honeste Vivere (jujurlah dalam hidupmu), Aterum non leadere (jangan merugikan orang lain), dan Suum cuique tribuere (berikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya).

Ketika produk hukum bertentangan dengan prinsip natural law, maka dikatakan hukum tersebut tidak bermoral.

Apabila seseorang penegak hukum tidak mendasarkan sikapnya pada 3 (tiga) prinsip itu sama artinya ia sedang menggiring dirinya menjadi makhluk tidak bermoral. Itulah doktrin utama natural law yang digagas oleh Ulpianus.

Dalam konteks hukum Indonesia, sumber hukum tertinggi adalah Pancasila, ground norm teringgi. Artinya, semua produk hukum, baik undang-undang maupun putusan hakim harus selalu selaras dan menghadirkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Pancasila sangat penuh muatan moralitas yang hidup di tengah masyarakat

Putusan bebas hakim terhadap Haris dan Fatia merupakan produk hukum yang mencerminkan nilai Pancasila sekaligus mengandung prinsip-prinsip yang digaungkan oleh natural law serta sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh critical legal studies atau disebut juga hukum kritis.

Poin utamanya adalah menghadirkan keadilan di tengah kondisi yang tidak balance antara pihak Haris-Fatia sebagai masyarakat biasa dengan Luhut Binsar Pandjaitan selaku pejabat Negara.

Putusan ini patut diapresiasi setinggi-tingginya serta berharap agar semakin banyak hakim yang memiliki paradigma post-modern sehingga mampu menghadirkan keadilan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2024/01/11/102709680/putusan-bebas-haris-dan-fatia-berdasar-perspektif-hukum-kritis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke