REVISI Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berdampak signifikan terhadap eksistensi akta notariil dan akta autentik pada umumnya.
Masih hangat dalam ingatan, DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan disahkan pada Rapat Paripurna ke-10 dalam masa sidang II periode 2023-2024 DPR RI (5/12/2023).
Dalam kesempatan itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan, Perubahan Kedua tentang UU ITE, akan mulai berlaku setelah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
UU ITE baru perubahannya tidak didominasi pasal-pasal pidana, karena norma itu sudah banyak diambil alih dan diintegrasikan ke dalam UU No. UU 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru).
Terkait hal ini, saya sudah menulis beberapa artikel di Kompas.com antara lain berjudul “Pasal-pasal 'Cyber Crime' UU ITE Dicabut oleh UU KUHP Baru”.
Mengingat UU ITE hasil revisi belum diberi nomor, dan masih dalam proses pengundangan, maka untuk memudahkan pembaca, dalam artikel ini saya gunakan istilah “UU ITE Baru”.
Pengakuan hukum atas transaksi online dan diakuinya e-evidence sebagai alat bukti hukum yang sah, adalah keniscayaan. Norma ini sudah menjadi prinsip hukum umum yang selama ini, juga telah dipraktikan di Indonesia.
Meskipun UU ITE selama ini lebih dikenal dengan pasal-pasal “cyber crime-nya”, tetapi perlu dipahami, bahwa UU ITE memiliki peran sentral dalam menggerakan bisnis dan ekonomi digital. Khususnya terkait kepastian hukum atas transaksi online dan alat bukti elektronik.
Lalu apa yang direvisi dalam UU ITE Baru? Terdapat perubahan fundamental, yang antara lain mencakup revisi pasal 5 UU ITE lama yang berlaku saat ini.
Untuk memahami secara komprehensif, akan diuraikan lebih dulu ketentuan pasal 5 UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2016 yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut UU ITE lama.
Pasal 5 UU ITE lama mengatur beberapa hal.
Pertama, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya, merupakan alat bukti hukum yang sah (pasal 5 ayat 1).
Ketentuan pasal 5 ayat (1) ini dibatasi dan dikecualikan pemberlakuannya oleh pasal 5 ayat (4) huruf a. Pasal tersebut menyatakan “ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis”.
Kedua, dalam UU ITE lama, pasal 5 ayat (1), juga dibatasi dan dikecualikan keberlakuannya oleh pasal 5 ayat (4) huruf b yang menyatakan “Ketentuan tentang Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah ini, tidak berlaku untuk surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta."
Pasal ini seringkali dianggap sebagai penghambat implementasi “cyber notary” dan pengakuan akta autentik elektronik sebagai e-evidence. Hal ini karena secara eksplisit dibatasi oleh UU ITE.