Kupas tuntas dan jelas perkara hukum
Ajukan pertanyaan tanpa ragu di konsultasi hukum Kompas.com
Oleh: Dwi Ramayanti, S.H., M.H.
Pasal 119 KUH Perdata menyatakan bahwa perkawinan pada hakikatnya menyebabkan percampuran dan persatuan harta pasangan menikah, kecuali apabila pasangan menikah tersebut membuat sebuah Perjanjian Perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta.
Pasal 139 KUH Perdata juga menyebutkan bahwa para calon suami isteri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau tata tertib umum.
Terkait dengan Perjanjian Perkawinan Pasal 147 KUH Perdata Juncto Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan mengatur sebagai berikut:
Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian.
Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu.
Dari ketentuan di atas sempat menimbulkan permasalahan terkait kepemilikan tanah dalam pernikahan campuran antara WNI dengan WNA, di mana keduanya tidak sempat membuat Perjanjian Perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan.
Tanpa dilakukannya Perjanjian Perkawinan maka harta yang diperoleh setelah perkawinan akan menjadi harta bersama, namun dalam kasus kepemilikan tanah hanya WNI yang dapat diizinkan untuk memiliki tanah dengan status hak milik (Vide: Pasal 21 (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria).
Hal ini menyebabkan pasangan yang berkewarganegaraan WNI tidak dapat membeli atau memiliki tanah dengan status hak milik.
Demikian pula dengan kepemilikan saham, jika Warga Negara Indonesia pemegang saham tersebut menikah dengan Warga Negara Asing maka perusahaan tersebut harus berubah menjadi PT PMA.
Permasalahan tersebut kini telah memperoleh solusi dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 (Putusan MK 69/2015).
Dengan adanya Putusan MK 69/2015, maka ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan berubah menjadi sebagai berikut:
Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.