Penulis: Timothy Jones/DW Indonesia
RIYADH, KOMPAS.com - Duta Besar Arab Saudi untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Abdulaziz Alwasil telah ditunjuk untuk memimpin badan dunia, Komisi Status Perempuan (Comission on the Status of Women atau CSW). \
Sebelumnya Arab Saudi mengajukan negaranya untuk mendapat posisi tersebut dan tidak mendapat tentangan dari pihak lain.
Sejatinya, jabatan seperti ini bergilir di antara lima kelompok regional PBB, dan pada umumnya dikukuhkan dengan suara bulat lewat sebuah preseden yang mungkin tidak dapat diganggu gugat oleh negara lain.
Baca juga: Arab Saudi dan Beberapa Negara Menyesal Upaya Palestina Jadi Anggota PBB Gagal
Kelompok Asia, yang termasuk di dalamnya Arab Saudi, dengan suara penuh memilih pengajuan negara dengan Ibu Kota Riyadh ini.
Pilihan ini akibatnya memicu reaksi keras dari kelompok pegiat hak asasi manusia (HAM), yang telah mencatat rekam jejak negara tersebut terkait hak-hak perempuan. Arab Saudi berada di peringkat 131 dari 146 negara dalam hal kesetaraan gender, hal ini berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF).
"Terpilihnya Arab Saudi sebagai Ketua CSW PBB menunjukkan pengabaian yang luar biasa atas hak-hak perempuan di mana-mana," kata Direktur Human Rights Watch (HRW) Louis Charbonneau di PBB.
"Sebuah negara yang memenjarakan perempuan hanya karena mereka mengadvokasi hak-hak mereka, tidak pantas menjadi wajah dari forum tertinggi PBB untuk hak perempuan dan kesetaraan gender," tegasnya.
"Pihak berwenang Saudi harus menunjukkan bahwa kehormatan ini tidak sepenuhnya tidak layak dan segera membebaskan semua pembela hak perempuan yang ditahan, mengakhiri perwalian laki-laki dan memastikan hak penuh perempuan atas kesetaraan dengan para laki-laki."
Menjelang pengangkatan tersebut, Amnesty Internasional telah mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengutuk langkah tersebut.
"CSW memiliki mandat yang cukup jelas untuk mempromosikan hak perempuan dan kesetaraan gender, dan penegakannya merupakan hal penting bagi ketua komisi," kata Direktur Advokasi Amnesty Internasional Sherine Tadros.
"Catatan buruk Arab Saudi dari segi perlindungan dan promosi hak perempuan jadi sorotan jurang pemisah antara kenyataan kehidupan perempuan dan anak perempuan di Saudi dengan aspirasi komisi," tambahnya.
Selain itu, Tadros juga mengkritik Undang-Undang Status Pribadi tahun 2022 di Riyadh, yang berusaha diklaim oleh pihak berwenang sebagai langkah menuju kesetaraan.
Undang-Undang tersebut, kata Tadros, "pada kenyataannya mengukuhkan diskriminasi berbasis gender terhadap setiap aspek kehidupan keluarga, mulai dari pernikahan, perceraian, hak asuh anak dan warisan, dan gagal melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender."
Baca juga: Arab Saudi Keluarkan Kebijakan Baru soal Pekerja Rumah Tangga
Penguasa sah Arab Saudi, Putra Mahkota Mohammed bin Salman, sejatinya telah menjanjikan soal reformasi.