Penulis: Nik Martin/DW Indonesia
BEIJING, KOMPAS.com - Belt and Road Initiative (BRI) atau Insiatif Sabuk dan Jalan yang masif dari China, mendukung pembangunan sekitar 21.000 proyek infrastruktur di seluruh dunia, dianggap sebagai inti dari kebijakan luar negeri Presiden Xi Jinping.
Hal ini sering dibandingkan dengan Marshall Plan AS untuk Eropa setelah Perang Dunia II.
Beijing telah memberikan lebih dari 1,3 triliun dollar AS (Rp 20,13 kuadriliun) atau setara dengan 1,2 triliun euro dalam bentuk pinjaman selama sekitar satu dekade terakhir untuk mendanai pembangunan jembatan, pelabuhan, dan jalan raya di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, menurut sebuah laporan baru.
Baca juga: Ketika Eropa Menghindari Jebakan Utang China
BRI telah membantu memulihkan rute perdagangan kuno antara China dan seluruh dunia, sehingga dijuluki Jalur Sutra Baru. BRI juga telah meningkatkan pengaruh global Beijing, yang membuat Washington dan Brussels kecewa.
Para kritikus mengatakan bahwa BRI telah menjerat negara-negara berkembang dengan utang yang tidak dapat dikelola dan meninggalkan jejak karbon yang sangat besar di saat perlindungan lingkungan seharusnya menjadi prioritas. Beberapa negara, termasuk Filipina, telah menarik diri dari proyek-proyek tersebut.
Meskipun China telah berkomitmen untuk terus menginvestasikan miliaran dollar dalam proyek-proyek baru, hari perhitungan kini telah tiba. Tagihan dari sepuluh tahun terakhir atas banyak pinjaman tersebut kini telah jatuh tempo.
Sebuah laporan yang diterbitkan awal bulan ini oleh AidData memperkirakan bahwa 80 persen dari pinjaman yang diberikan oleh China di negara-negara berkembang adalah kepada negara-negara yang mengalami kesulitan keuangan.
Lembaga riset yang berbasis di Amerika Serikat ini memperkirakan bahwa total utang yang belum dilunasi, tidak termasuk bunga, setidaknya mencapai 1,1 triliun dollar AS (Rp 17 kuadriliun).
Meskipun laporan ini tidak memberikan angka berapa banyak pinjaman yang telah menjadi macet, laporan ini menyatakan bahwa jumlah pembayaran yang tertunggak melonjak.
Para penulis laporan ini juga mencatat bahwa 1.693 proyek BRI beresiko dan 94 proyek telah dibatalkan atau ditangguhkan.
AidData menghitung bahwa lebih dari separuh pinjaman BRI saat ini telah memasuki masa pembayaran kembali pokok pinjaman mereka, pada saat suku bunga dasar global telah meningkat tajam, sehingga beban pembayaran kembali yang harus ditanggung oleh negara-negara pengutang menjadi lebih besar.
Para penulis laporan tersebut menemukan bahwa China, dalam beberapa kasus, telah menaikkan suku bunga dua kali lipat sebagai denda atas keterlambatan pembayaran dari 3 persen menjadi 8,7 persen.
Ketika China pertama kali mulai menawarkan pinjaman kepada negara-negara berkembang pada pergantian abad, kurang dari seperlima proyek-proyek yang dijaminkan, dibandingkan dengan hampir dua pertiga saat ini.