INVASI Rusia ke Ukraina pada Kamis pagi waktu setempat, telah mengejutkan banyak pihak.
Setelah menyangkal beberapa kali terkait pengerahan pasukan ke daerah perbatasan, Presiden Vladimir Putin akhirnya memutuskan untuk melakukan pengerahan pasukan dengan dalih menjaga stabilitas dan perdamaian di wilayah yang telah memerdekakan diri.
Adapun dua wilayah yang memerdekakan diri dikenal sebagai wilayah pro-Rusia.
Ketegangan dan pengerahan pasukan yang akhirnya berlanjut dengan invasi Rusia ke wilayah Ukraina kemudian memunculkan pertanyaan besar bagi pengamat dan akademisi hubungan internasional: apakah diplomasi yang dijalankan selama ini telah gagal?
Politisi Jerman yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan Jerman tahun 2019 – 2021, A. Kramp-Karrenbauer, mengatakan melalui akun Twitter-nya, “I'm so angry at ourselves for our historical failure. After Georgia, Crimea, and Donbas, we have not prepared anything that would have really deterred Putin.”
Dalam cuitan lanjutan, dia kembali mempertegas, “We have forgotten the lesson of Schmidt and Kohl that negotiation always comes first, but we have to be militarily strong enough to make non-negotiation not an option for the other side.”
Dua cuitan tersebut secara jelas menggambarkan betapa frustasinya kita melihat kegagalan upaya negosiasi dalam menyelesaikan ketegangan dan konflik internasional.
Diplomasi dan negosiasi dianggap bukan menjadi jaminan bagi negara untuk merasa “aman” dari kemungkinan terburuk, sehingga pilihan dan strategi lain perlu disiapkan seandainya upaya diplomasi gagal.
Ketika negara akhirnya memilih opsi perang, kita sepertinya kembali jatuh dalam lubang yang sama dan tidak belajar dari sejarah.
Apakah diplomasi benar telah gagal? Dan apakah diplomasi masih dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik internasional?
Diplomasi dalam definisi yang paling sederhana dapat diartikan sebagai komunikasi yang dilembagakan di antara perwakilan yang diakui secara internasional.
Hal utama dalam diplomasi adalah komunikasi, representasi dan pengakuan.
Melalui representasi dan pengakuan melalui perwakilan, komunikasi dijalankan untuk memproduksi, mengelola dan mendistribusikan informasi bagi kepentingan publik.
Di lain sisi, perang merupakan pilihan akan operasi militer untuk mencapai tujuan tertentu.
Seringkali, operasi militer dianggap sebagai upaya mencapai rasa “aman” yang diinginkan oleh pihak tertentu.