Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sunardi Siswodiharjo
Food Engineer dan Praktisi Kebugaran

Food engineer; R&D manager–multinational food corporation (2009 – 2019); Pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan.

"Mindful Eating": Ritual Makan (Sehat) yang Terabaikan

Kompas.com - 20/09/2023, 16:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ISTILAH mindfulness rasanya lebih sering kita dengar ketimbang mindful eating. Namun sejatinya keduanya berasal dari “roh” yang serupa.

Secara sederhana mindfulness merujuk pada keadaan pikiran yang penuh perhatian, kesadaran, dan fokus pada saat ini tanpa penilaian ataupun distraksi.

Kondisi yang selalu menyadari sepenuhnya apa yang sedang kita lakukan, bahkan menyadari setiap tarikan nafas kita. Kesadaran tentang segala proses yang sedang terjadi. Merasakan sensasi dari perubahan fisik ketika berjalan atau berolahraga.

Lalu di mana letak irisan dan kelindan roh kedua istilah di atas secara bermakna?

Obsesi, kontemplasi, dan refleksi

Atmosfer zaman seperti saat ini, hampir semua berhimpun dalam ajang adu kecepatan. Semua terobsesi dengan kecepatan dan kelincahan.

Para produsen beritapun berebut nongol paling cepat dalam mengabarkan sesuatu. Siapapun akan merasa seolah terjengkang jika muncul lebih belakang.

Para konsumen informasi juga terseret gelombang itu. Mereka tercebur bersama dalam situasi adu cepat. Bahkan tanpa kita sadari, ritual makan kita pun juga berlangsung dengan cepat.

Apalagi jika menunya super uenak, maka tahu-tahu kita sudah melahap porsi kedua alias nambah.

Oleh karenanya, kita butuh “berhenti” sejenak kemudian menjalani laku kontemplasi, bahkan berlanjut dengan refleksi jika dirasa perlu.

Manfaat kontemplasi secara gamblang disebutkan dalam riset oleh Tobin Hart (2008), Exploring the Neurophenomenology of Contemplation and Its Potential Role in Learning, yaitu kemampuan merasakan sensasi terjadinya perubahan keadaan fisiologis, selain perubahan emosi dan kognisi dalam diri.

Kontemplasi pada gilirannya bisa menurunkan tekanan darah, menurunkan detak jantung serta menurunkan kortisol, hormon stres yang diproduksi lebih banyak ketika tubuh mengalami stres, baik fisik maupun emosional.

Beberapa waktu lalu, ketika pandemi Covid-19 sedang parah-parahnya, terasa sekali bahwa kemampuan mindfulness sangat membantu.

Riset ilmiah bertajuk Trait Mindfulness is Negatively Associated with Distress Related to COVID-19 yang dilakukan oleh Dillard dan Meier (2021) terhadap 548 responden, menyimpulkan bahwa individu yang sanggup mempraktekkan mindfulness, dalam hal ini memusatkan perhatian, cenderung menurunkan kegelisahan dan stres, lebih sedikit kekhawatiran tentang virus, dan apabila terpapar virus, ia akan merasakan dampak negatif lebih rendah.

Selain itu, dalam khasanah Islam terdapat istilah tuma’ninah, yakni berhenti sesaat di antara gerakan-gerakan dalam ibadah shalat. Sembahyang tak seharusnya dilakukan sambil terburu-buru, layaknya sedang berkejaran dengan waktu.

Dalam setiap bentuk gerakan, ada beberapa saat yang mesti diambil untuk berhenti, meresapi, menghayati, dan menikmati.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com