Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen Monash University: Waspadai Ancaman Propaganda Partisipatif di Era Digital

Kompas.com - 22/01/2024, 19:40 WIB
Mahar Prastiwi

Penulis

KOMPAS.com - Dosen senior Monash University Indonesia Ika Idris mengatakan, sebagai negara dengan pengguna media sosial terbesar di Asia Tenggara, Indonesia mesti waspada dengan strategi propaganda partisipatif (participatory propaganda).

Pasalnya, strategi propaganda di era digital tidak lagi menekankan pada pendekatan top-down yang tepusat dari pembuat propaganda. Namun telah berfokus untuk menggerakkan partisipasi audiens.

Hal ini disampaikan Ika Idris, dalam acara diskusi buku "Misguided Democracy in Malaysia and Indonesia: Digital Propaganda in Southeast Asia" di Jakarta.

Buku tersebut ditulis Ika bersama dosen Oklahoma State Universoty Nuurianti Jalli. Acara tersebut menghadirkan sejumlah pembicara mulai dari co-writer, panelis dan moderator dari berbagai kalangan.

Baca juga: Jadi Duta Pendidikan dan Bikin 8 Buku, Amira Lulus dengan IPK 4,00

Waspadai strategi propaganda partisipatif

Hadir sebagai pengulas pakar komunikasi Universitas Paramadina Putut Widjanarko dan peneliti departemen politik Center for Strategic and International Studies (CSIS) Noory Okthariza dengan dipandu moderator dosen senior Monash University Malaysia, Dyah Pitaloka dan Director Monash Data and Democracy Research Hub (MDDRH) Monash University Indonesia, Derry Wijaya.

Ika menerangkan, akibat strategi ini banyak dari pembuat konten yang tidak sengaja menjadi fake news entrepreneur (pengusaha berita palsu) atau menjadi bagian dari ekosistem propaganda digital.

Strategi participatory propaganda ini, misalnya, terjadi saat pemilu presiden Amerika Serikat 2016 silam.

Di mana banyak organisasi media, partisan media, ataupun konten creator menyebarkan pesan dengan judul click bait, dan meneguhkan polarisasi politik.

Di Indonesia, lanjut Ika, strategi ini jelas terlihat pada propaganda invasi Rusia ke Ukraina. Menurutnya, banyak jaringan penyebar propaganda Rusia di media sosial yang menyebarkan materi-materi secara massif, cepat, berulang, dan disampaikan melalui berbagai platform.

Fitur platform media sosial yang memungkinkan audiens dan kreator untuk berinteraksi dan bermain-main dengan konten. Misalnya melalui meme, stiker atau stich, membuat audiens tidak selalu sadar dengan disinformasi yang disampaikan.

"Pada kasus penyebaran disinformasi invasi Rusia ke Ukraina, banyak konten kreator yang sebenarnya tidak sadar mereka turut menyebarkan propaganda. Mereka awalnya mengangkat isu itu karena ternyata engagement-nya tinggi. Akhirnya keterusan membuat konten, dan akhirnya terlibat aktif dalam ekosistem propaganda digital," terang Ika dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Senin (22/1/2024).

Di masa kampanye Pemilu tahun ini, para politisi juga berupaya keras agar masyarakat terlibat aktif menjadi agen-agen propaganda politik mereka.

Ika menambahkan, strategi propaganda di era digital, menekankan tidak lagi pada hanya strategi pesan.

Baca juga: Mau Masuk Monash University? Kemampuan Ini yang Harus Dimiliki

Perbedaan dengan propaganda gaya lama adalah pada upaya membuat sebuat pesan menjadi viral, atau virality strategy yang memanfaatkan pasukan media sosial, bots, trolling, menargetkan ceruk audiens di level mikro/sangat spesifik, ataupun memanipulasi algoritma.

Dalam kesempatan yang sama, peneliti departemen politik CSIS Noory Okthariza menambahkan, propaganda digital di Asia Tenggara masih belum banyak yang membahas kesamaan dan perbedaanya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com