Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Unkris: Tradisi Halal Bihalal Miliki Peran Strategis dalam Masyarakat Multikultural

Kompas.com - 03/05/2023, 16:51 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com – Mengawali kegiatan setelah cuti bersama dan Idul Fitri sekaligus meningkatkan tali silaturahmi, keluarga besar Universitas Krisnadwipyana (Unkris) menggelar acara halal bihalal di kampus Unkris, Selasa (2/5/2023).

Kegiatan halal bihalal bertema "Silaturahmi Menguatkan Keluarga Besar Unkris" tersebut dihadiri Ketua Pembina Yayasan Unkris Prof. Gayus Lumbuun, Ketua Yayasan Amir Karyatin beserta jajaran, Rektor Ayub Muktiono, seluruh wakil rektor, ketua lembaga, dekan, dosen serta tenaga kependidikan dari empat fakultas.

Halal bihalal juga diisi dengan siraman rohani disampaikan dosen UNJ Ahmad Murodi. Ayat suci Al Qur’an dibacakan Ustadz Sulaiman dengan saritilawah Sintya Agustine.

Dalam sambutannya, Prof Gayus memaparkan halal bihalal dalam sejarah masyarakat Indonesia mulai dikenal sekitar tahun 1948 atau tiga tahun setelah Indonesia merdeka.

“Tradisi yang dipelopori Presiden Soekarno tersebut terus berkembang hingga saat ini bahkan kemudian diiringi dengan ajang open house, yakni mengundang orang untuk berkunjung ke rumah guna mempererat silaturahmi,” tutur Prof Gayus.

Dalam versi lain, sejarah halal bihalal diperkenalkan oleh KH Wahab, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) kepada Bung Karno sebagai bentuk silaturahmi antar pemimpin politik yang saat itu masih memiliki konflik.

“Atas saran dari KH Wahab, lantas Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik ke istana untuk menghadiri silaturahmi dengan istilah halal bihalal, di mana para tokoh politik pada akhirnya harus duduk satu meja,” tambahnya.

Halal bihalal dalam masyarakat multikultural

Sebagai negara dengan masyarakat yang multikultural, menurut Prof Gayus, tradisi halal bihalal memiliki peran yang strategis untuk mengurai kekusutan, kekeruhan, dan kesalahpahaman yang selama ini terjadi di tengah masyarakat.

Baca juga: Merunut Sejarah Halal Bihalal, dari Soekarno hingga Penjual Martabak

 

Dengan halal bihalal, maka hal-hal yang memutus tali silaturahmi dapat dihalalkan (aman) kembali.

“Dalam makna yang lebih luas, halal bi halal dapat diartikan sebagai suatu semangat Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia sebagai Negara yang multikultural atau masyarakat majemuk dan pluralisme dengan penuh keragaman, nilai budaya, ras, etnis, bahasa, dan sejarah yang terpadu menjadi satu sebagai kebiasaan di daerah setempat yang tersebar di seluruh wilayah NKRI,” tegas Prof Gayus.

Data Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 Indonesia memiliki 1.340 suku dan tercatat suku Jawa adalah kelompok terbesar dengan 41 persen total populasi.

Menurut Prof. Gayus masyarakat Indonesia yang majemuk merupakan aspek yang harus dikelola dengan tepat agar dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar untuk menghindari gesekan atau benturan dengan meminimalisasi kesenjangan sebagai kerawanan social.

Oleh karena itu, membentuk dan memelihara persatuan Indonesia yang beragam ini merupakan kewajiban seluruh masyarakat terutama masyarakat kampus sebagai pencetak para calon intelektual bangsa di masa depan.

Prof. Gayus menganalogikan keragaman masyarakat Indonesia sebagaimana menu makanan kolak. Menu yang menjadi hidangan masyarakat utamanya saat berbuka puasa tersebut memiliki bahan dasar beraneka macam mulai dari pisang, singkong, ubi, gula, buah atep hingga santan.

Masing-masing bahan baku tersebut saling melengkapi untuk menjadi menu masakan kolak yang manis dan lezat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com