KOMPAS.com - Calon wakil presiden nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, menyebutkan bahwa produksi nikel Indonesia berlebih atau oversupply.
Hal tersebut disampaikan Muhaimin saat debat keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
Pada sesi tanya-jawab, cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka mempertanyakan sikap Muhaimin dan tim sukses paslon nomor urut 1 yang terkesan anti-nikel.
Menurut Gibran, paslon nomor urut 1 dan tim suksesnya kerap menggaungkan lithium ferro phosphate (LFP), komponen alternatif nikel dalam pembuatan baterai kendaraan listrik.
Muhaimin mengaku setuju bahwa sumber daya alam Indonesia harus dipromosikan, tetapi ia menilai nikel telah dieksploitasi secara ugal-ugalan.
Selain itu, kata dia, proses hilirisasi dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial.
Dampaknya, kebijakan Indonesia menyetop ekspor nikel mentah dan menggenjot hilirisasi justru menjadi bumerang.
"Yang paling parah nikel kita berlebih produknya. Sehingga, bukan harga tawar kita menaik, malah kemudian kita menjadi korban dari policy (aturan) kita sendiri," kata Muhaimin.
Menurut laporan Indonesia Business Post, pada November 2023, harga nikel anjlok sekitar 50 persen dari harga tertingginya pada Januari 2023.
Penurunan itu menjadikan nikel logam dengan kinerja terburuk di London Metal Exchange pada 2023.
Alasan utama penurunan harga itu adalah kelebihan pasokan nikel yang disebabkan oleh investasi besar pada kapasitas pengolahan Indonesia selama tiga hingga empat tahun terakhir.
Alasan utama penurunan ini adalah kelebihan pasokan nikel yang disebabkan oleh investasi besar pada kapasitas pengilangan Indonesia selama tiga hingga empat tahun terakhir.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, dan transformasi kendaraan listrik (EV) secara global telah menjadikan nikel sebagai komoditas yang menguntungkan.
Pada 2020, Indonesia melarang ekspor bijih nikel mentah untuk menarik investasi dan membangun rantai pasokan kendaraan listrik dan baterai yang kompetitif.
Namun, ketegangan geopolitik yang dipengaruhi oleh perang Rusia-Ukraina telah memperlambat adopsi kendaraan listrik.