KOMPAS.com - Nama Marsinah lekat dengan sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Dia adalah aktivis buruh perempuan di PT Catur Putra Surya (CPS), pabrik arloji yang berlokasi di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Dikutip dari buku Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan Indonesia (1999), Marsinah ditemukan tewas pada 9 Mei 1993 sekitar pukul 11.00, di sebuah gubuk tengah sawah, Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Baca juga: Kisah Marsinah, Aktivis Buruh yang Dibunuh pada Masa Orde Baru
Hasil otopsi RSUD Nganjuk pada 10 Mei 1993 menunjukkan, Marsinah telah meninggal dunia sehari sebelum jenazahnya ditemukan.
Penyebab kematiannya yakni akibat tusukan benda runcing. Perutnya luka sedalam 20 sentimeter, dagunya memar, lengan dan pahanya lecet, selaput dara robek, dan tulang kelamin bagian depan hancur akibat dimasuki benda tumpul.
Dikutip dari Harian Kompas, 10 November 1993, kematian tragis Marsinah berhubungan erat dengan aktivitasnya dalam organisasi buruh SPSI unit kerja PT CPS.
Pada waktu itu, buruh di PT CPS digaji Rp 1.700 per bulan. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Menteri 50/1992 yang menetapkan UMR Jawa Timur adalah Rp 2.250.
Marsinah dan rekan-rekannya kemudian berunjuk rasa menuntut kenaikan upah pada 4 Mei 1993. Marsinah tampil dengan sederet argumentasi yang merepotkan pimpinannya.
Baca juga: Buruh Kenang Perjuangan Marsinah lewat Film
Bahkan, Marsinah dengan lantang menentang permintaan Direktur PT CPS agar para pekerja terus bekerja seperti biasanya. Dia bersama teman-temannya melakukan aksi mogok kerja.
"Tak usah kerja," salah satu kata yang terucap dari Marsinah ketika unjuk rasa.
Dilansir Kompas.com, aksi para buruh PT CPS menuntut haknya itu kemudian diintervensi oleh militer. Hal itu biasa terjadi pada era Orde Baru ketika militer merangsek ke semua bidang.
Militer leluasa mencampuri urusan ketenagakerjaan karena Surat Keputusan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) Nomor 02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 342/Men/1986.
Aturan ini digunakan rezim Orde Baru untuk mengendalikan dan memantau aktivitas buruh. Aparat keamanan memiliki kewenangan untuk menertibkan para buruh melawan pemilik perusahaan.
Pada 5 Mei 1993, sebanyak 13 buruh digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo karena dianggap telah menghasut rekan-rekannya untuk berunjuk rasa.
Baca juga: Mengenang Marsinah, Simbol Perjuangan Kaum Buruh yang Tewas Dibunuh
Lantas, mereka dipaksa mengundurkan diri dari PT CPS. Alasannya, para buruh itu dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan lain bekerja.
Pada hari yang sama, Marsinah dikabarkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan 13 rekannya.
Namun, sekitar pukul 22.00, Marsinah menghilang. Keberadaannya tidak diketahui hingga jenazahnya ditemukan di Nganjuk pada 9 Mei 1993.
Dilansir Kompas.com, kasus pembunuhan Marsinah mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan para aktivis HAM.
Para aktivis kemudian membentuk Komite Solidaritas untuk Marsinah (KSUM) dan menuntut pemerintah menyelidiki dan mengadili para pelaku pembunuhan