KOMPAS.com - Upaya pemulihan kerugian keuangan negara menjadi poin penting dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana. Namun, RUU yang diusulkan oleh pemerintah itu tak kunjung disahkan.
Selama ini mekanisme perampasan aset secara pidana masih memiliki keterbatasan dan lebih fokus pada pelaku, ketimbang mengejar aset hasil tindak kejahatan.
Hal ini membuat negara kerap mengalami kerugian secara finansial dalam berbagai kasus kejahatan yang ditangani.
Terkait kasus korupsi, berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara tahun 2020 mencapai Rp 56,7 triliun.
Sedangkan hukuman uang penggantinya hanya Rp 19,6 triliun. Di samping itu hukuman denda juga rendah, hanya berkisar Rp 156 miliar.
Baca juga: PPATK: RUU Perampasan Aset Cegah Pelaku Nikmati Hasil Kejahatannya
Koordinator Substansi Analisis Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Azamul Fadhly Noor mengatakan, penegakan hukum di Indonesia untuk perampasan aset hasil kejahatan masih sangat terbatas.
Menurutnya, selama ini penyidikan terkait dengan kejahatan keuangan hanya berfokus pada kejahatan dan pelakunya saja.
"Padahal kejahatan sekarang ini bukan kejahatan seperti dulu. Kalau dulu yang dicuri ayam, mungkin naik kelas curi televisi, mobil. Sekarang yang dicuri luar biasa, proyek atau aset negara yang jumlahnya triliunan,” kata Azamul, dikutip dari tayangan podcast di YouTube PPATK Indonesia, Jumat (13/1/2023).
“Kalaulah orang itu kemudian bisa ditangkap dan dipenjara, pertanyaannya, bisa enggak aset yang dicuri itu diselamatkan? Ini yang menjadi kekhawatiran dari masyarakat kita,” tutur dia.
Azamul berpandangan, penegakan hukum untuk melakukan perampasan aset kerap kali kurang optimal karena terkendala kekurangan alat bukti.
Berdasarkan Pasal 183 KUHP, harus ada minimal dua alat bukti dan keyakinan dari hakim untuk menghukum seseorang.
Perampasan aset secara pidana tidak akan pernah cukup untuk mengambil alih keuntungan ekonomis yang didapat oleh pelaku kejahatan.
Sebab, prinsip utama perampasan pidana yakni harus terlebih dahulu mensyaratkan pembuktian kesalahan pelaku kejahatan supaya dapat merampas asetnya.
Sementara, banyak sekali kondisi yang tidak memungkinkan menyeret pelaku secara pidana. Seperti pelaku yang telah meninggal dunia, pelaku memiliki imunitas, dan pelaku yang menjadi buron.
Oleh sebab itu, kata Azamul, konsep civil forfeiture atau non-conviction based asset forfeiture seharusnya bisa menjadi alternatif dalam perampasan aset hasil kejahatan.