KOMPAS.com - Deklarasi Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 menjadi tonggak sejarah kelahiran bahasa Indonesia.
Kala itu, para pemuda yang bertemu di Kongres Pemuda II di Jakarta menyatakan tiga poin ikrar.
"Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Poin ketiga Sumpah Pemuda menjadi penanda diakuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Dikutip dari laman Gramedia, sejarah bahasa Indonesia bukan dimulai dari Sumpah Pemuda, tetapi sejak abad ke-7.
Secara faktual, bahasa Indonesia memang dijadikan bahasa nasional resmi dalam momen Sumpah Pemuda 1928. Namun, dilihat dari awal perkembangannya, sejarah bahasa Indonesia bermula pada 1900-an.
Perkembangan awal bahasa Indonesia dimulai sejak masa perdagangan pada abad ke-7 dan berasal dari Bahasa Melayu.
Sejumlah prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Sriwijaya ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatra. Ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu menyebar ke berbagai wilayah strategis untuk pelayaran dan perdagangan di Nusantara.
Pada abad ke-15, berkembang bentuk bahasa yang dianggap sebagai Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay).
Bahasa ini dipakai oleh Kesultanan Melaka yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya.
Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatra dan Jawa.
Terobosan penting terjadi pada pertengahan abad ke-19 ketika Raja Ali Haji dari Istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu.
Sejak saat itu, dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang utuh, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara, yakni bahasa Melayu pasar yang colloquial dan tidak baku, serta bahasa Melayu tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar.