KOMPAS.com - Media sosial menjadi wadah paling dominan ditemukannya kampanye negatif di tahun-tahun politik.
Pada Kamis (17/2/2022), kolaborasi Cek Fakta menggelar diskusi bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), serta Dewan Pers untuk membahas langkah menangkal hoaks menjelang pemilu 2024.
Dalam kesempatan tersebut I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Ketua Divisi Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, SDM dan Parmas KPU, memaparkan bahwa media sosial menjadi ruang beredarnya hoaks dan ujaran kebencian.
Baca juga: AJI: Pemerintah Jangan Sembarang Cap Hoaks di Kasus Wadas
Menurut data survei Kominfo pada 2020 terkait hoaks, sebanyak 67,2 persen sebaran hoaks berkaitan dengan isu politik.
Media sosial seperti Facebook, mendominasi narasi hoaks atau berita bohong. Dari semua sebaran, sebanyak 71,9 persen ditemukan di Facebook.
"Jadi bagaimana konten ujaran kebencian kemudian konten disinformasi atau hoaks, pada garis besarnya itu terjadi pada media-media sosial. Sedangkan kalau media mainstream, saya kira sudah memiliki standar-standar dan mekanisme kontrol dan sebagainya," ujar Raka, Kamis.
Pihaknya berpendapat, ini menjadi salah satu tantangan penyelenggara pemilu.
Terlebih, belum ada jaminan atau kepastian terkait situasi pandemi Covid-19 pada 2024 mendatang.
Baca juga: Teori Konspirasi di Video Plandemic dan Hoaks Terlaris di Media Sosial
Pemanfaatan media sosial, baik berbasis teks, audio, dan visual tidak dipungkiri bisa menjangkau khalayak luas dengan cepat. Media sosial juga bisa mengatasi masalah pelaksanaan sosialisasi dengan metode tatap muka di masa pandemi.
"Di satu sisi mendorong pemanfaatan IT dan media sosial, sejalan dengan pembatasan sosialiasi dan metode tatap muka langsung," ucap dia.
Kendati demikian, ruang ini juga dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan kampanye negatif.
Raka menyambut baik upaya kolaborasi, baik dari media maupun pemangku kepentingan untuk mengupayakan pemilu yang sehat, dengan mengecek fakta dari sebaran misinformasi dan disinformasi di media sosial.
"Maka, di situ juga ada tantangan, bagaimana kita bersama-sama bisa melakukan upaya-upaya agar konten-konten yang ada ini juga konstruktif dalam hal melakukan edukasi kepada masyarakat," tutur Raka.