Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadi Bencana Kedua Terbanyak di Indonesia, Bisakah Puting Beliung Diprediksi?

Kompas.com - 23/02/2024, 20:00 WIB
Diva Lufiana Putri,
Mahardini Nur Afifah

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Puting beliung yang menerjang Rancaekek, Kabupaten Bandung dan Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat pada Rabu (21/2/2024) sore telah merusak seratusan  bangunan dan menimbulkan puluhan korban luka-luka.

Untuk diketahui, puting beliung adalah fenomena angin kencang yang bergerak memutar dan berpotensi menimbulkan kerusakan di sekitar lokasi kejadian.

Dilansir dari Kompas.id, Kamis (22/2/2024), fenomena ini merupakan bencana alam kedua terbanyak yang terjadi di Indonesia setelah banjir.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah kejadian puting beliung yang tercatat di Indonesia mencapai 11.456 kali, kedua tertinggi setelah banjir yang mencapai 14.235 kejadian.

Meski dapat terjadi di semua tempat di Tanah Air, angin puting beliung rawan menerjang di wilayah Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa, khususnya Jawa Barat.

Oleh karena itu, mitigasi bencana harus dipersiapkan agar peristiwa yang dapat terjadi sewaktu-waktu ini tidak menimbulkan kerusakan dan korban yang masif.

Lantas, bisakah fenomena puting beliung dideteksi dan diprediksi sebelumnya?

Baca juga: BRIN Pastikan Angin Kencang di Rancaekek Bukan Tornado, Ini Penjelasannya


Belum ada alat untuk deteksi puting beliung

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Eddy Hermawan mengaku, Indonesia belum memiliki alat khusus untuk mendeteksi bencana angin puting beliung.

Salah satu penyebabnya, bencana ini umumnya berlokasi sangat kecil dan tidak selalu menerjang daerah-daerah tertentu.

"Paling jauh kita hanya bisa menjelaskan mekanisme apa, kenapa proses itu bisa terjadi," ungkap Eddy, saat dihubungi Kompas.com, Kamis.

Alih-alih memprediksi, menurut Eddy, pihaknya hanya dapat menyimulasikan kondisi ekstrem ini menggunakan berbagai data-data terkait iklim dan atmosfer yang ada.

Caranya, yakni dengan memanfaatkan teknologi terkini, baik big data, kecerdasan buatan (AI), machine learning, deep learning, atau kombinasi semua teknologi.

"Sehingga kita mampu menyimulasikan kembali, baru kita bisa memprediksi ke depannya," ujar Eddy.

Sama seperti tornado, angin puting beliung terbentuk dari kumpulan awan-awan besar penghasil hujan, cumulonimbus (CB), yang disebut sebagai mesoscale convective system (MCS).

Kendati demikian, tidak semua awan CB akan menyebabkan puting beliung lantaran fenomena ini sangat bergantung pada kondisi atmosfer.

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com