Anak-anak yang cerdas secara emosional pandai mengungkapkan perasaan yang tengah dirasakan.
Sebagai contoh, saat anak mengatakan, "Saya merasa frustrasi karena saya tidak dapat memecahkan teka-teki ini."
"Atau kalimat, 'Saya senang karena saya membantu teman saya memperbaiki mainannya.' Mereka mengenali dan mengomunikasikan emosinya," kata Rauoda.
Cara membangun keterampilan ini, antara lain dengan membuat label emosi dan mengungkapkannya dalam segala situasi.
Misalnya, merasa kecewa karena tidak dapat menemukan kunci atau sedikit kewalahan dengan semua pekerjaan yang harus saya lakukan.
"Hal itu membantu menormalkan diskusi tentang emosi, sehingga lebih wajar bagi anak untuk meniru hal yang sama," ungkapnya.
Seorang anak yang mudah menyesuaikan perubahan atau mampu menangani berita mengecewakan dengan tenang, menurut Raouda, menunjukkan kematangan emosi.
Ketika membatalkan piknik di luar ruangan karena hujan misalnya, alih-alih kesal atau mengamuk, anak yang punya kecerdasan emosional tinggi dengan tenang menerima perubahan tersebut.
"Cara membangun keterampilan ini, sekali lagi dimulai dari orangtua. Bersikap fleksibel dan tenang saat bereaksi merupakan contoh perilaku adaptif yang dapat ditiru oleh anak-anak," ucapnya.
Baca juga: Kata-kata Ini Sering Diucapkan Seseorang dengan Kecerdasan Emosional Rendah
Anak-anak yang cerdas secara emosional pun dapat menangkap isyarat-isyarat halus yang mungkin terlewatkan oleh orang lain.
Contohnya, saat orangtua menceritakan harinya pada anak, mereka biasanya melakukan lebih dari sekadar mendengarkan.
"Anak mendengarkan dan menangkap emosi di balik kata-kata Anda. Mereka mengajukan pertanyaan dan menunjukkan rasa ingin tahu yang tulus," ungkap Raouda.
Oleh karenanya, keterampilan ini dapat dikembangkan dengan memberikan perhatian penuh kepada anak saat mereka menceritakan pengalaman bermain atau bersekolah.
Anak yang cerdas secara emosional umumnya dapat menangani emosi, tetap tenang saat situasi rumit, serta mampu membuat pilihan yang cerdas untuk anak seusianya.
"Bayangkan anak bermain dengan teman-temannya dan kalah satu ronde. Daripada bereaksi karena frustrasi, anak yang pandai mengatur diri mungkin akan meluangkan waktu sejenak untuk mengatur napas, lalu kembali berpikir positif," kata Raouda.
"Mereka tetap tenang dan terus maju, bahkan setelah kecewa," sambungnya.
Sementara itu, menahan amukan kecil seperti membentak atau bereaksi berlebihan kepada anak adalah cara mendasar untuk membangun keterampilan ini.
Orangtua juga dapat memperkenalkan teknik "jeda dan bernapas", yakni menarik napas dalam-dalam atau menghitung 1-10 saat menghadapi kesulitan.
"Biarkan mereka melihat Anda melakukannya juga. Ketika anak-anak melihat kita menghadapi masa-masa sulit dengan anggun, itu adalah pelajaran yang tidak akan mereka lupakan," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.