Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Menelusuri Sistem Saptatonika Arab

Kompas.com - 25/10/2023, 19:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

UNTUK dapat lebih lancar berkomunikasi dengan para pembaca, maka saya mohon diperkenankan menggunakan notasi abjad Jerman dalam upaya menelusuri sistem saptatonika Arab.

Akibat pada tahun 70-an abad XX di Jerman sempat berkolaborasi duet pianoforte dengan santur alias kecapi persia dengan Hejazi, pesantur Iran yang hijrah ke Jerman pascajatuhnya Shah Pahlavi, saya berkesempatan untuk secara langsung dalam praktik mengenal kemudian mempelajari sistem tata nada Arab dengan menggunakan mazhab duodecimatonika Jerman.

Dari pembelajaran permukaan peradaban tersebut, saya dapat menarik kesimpulan bahwa musik Arab memiliki sistem saptatonika yang menurut kaidah musik Barat khusus Jerman terdiri dari c des e f g as h .

Menarik bahwa beda dari pentatonika universal c d e g a yang sama sekali tidak mengandung interval terkecil, ternyata saptatonika Arab mengandung tiga interval terkecil.

Tidak kalah menarik adalah fakta bahwa apabila nada des dan as dihilangkan dari susunan saptatonika Arab, maka mendadak muncul pentatonika slendro khas Jawa dan Bali yang pada hakikatnya merupakan padanan mayor pentatonika Sunda, Bolivia dan “In” Jepang.

Maka secara subyektif saya berspekulasi musikologis bahwa ada secara georeligi keterkaitan sukma antara saptatonika Arab dengan pancatonika Jawa melalui jalur penyebaran agama Islam sama halnya dengan sistem duobelasnada Barat yang dibawa agama Nasrani ke persada Nusantara.

Entah secara sadar atau tidak sadar, Franz Liszt yang dilahirkan di desa Raiding yang kini berada di wilayah Austria dekat perbatasan dengan Hungaria sempat menggarap mahakarya Hungarian Rhapsody nomor 3 dengan sistem saptatonika Arab.

Beda dari Johannes Brahms yang sama sekali tidak menyentuh septatonika Arab di dalam siklus Hungarian Dances sebagai garapannya.

Sejarah mengindikasikan bahwa musik Hungaria memang sempat terpengaruh oleh musik Arab yang dibawa oleh para serdadu kekaisaran Ottoman yang de facto memang berhasil merangsek masuk wilayah kekaisaran Austria-Hungaria sampai ke kawasan suburbia kota Wina.

Sementara Bela Bartok yang dilahirkan di Sannicolau Mare, Rumania juga sempat menggali musik tradisional rakyat Rumania, Bulgaria dan Hungaria yang secara historis memang sempat menjadi wilayah kekuasaan imperialisme Ottoman Empire.

Menarik adalah indikasi bahwa ternyata geopolitik maupun georeligi berpengaruh terhadap musik sebagai bagian dari kesenian sebagai bagian dari kebudayaan sebagai bagian dari peradaban.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Jarang Diketahui, Ini 5 Jenis Makanan yang Sebaiknya Tak Dikonsumsi Bersama dengan Kafein

Jarang Diketahui, Ini 5 Jenis Makanan yang Sebaiknya Tak Dikonsumsi Bersama dengan Kafein

Tren
7 Tanda Terlalu Lama Berlari dan Bisa Membahayakan Tubuh, Apa Saja?

7 Tanda Terlalu Lama Berlari dan Bisa Membahayakan Tubuh, Apa Saja?

Tren
Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 28-29 April 2024

Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 28-29 April 2024

Tren
[POPULER TREN] Tanda Tubuh Kelebihan Gula | Kekuatan Timnas Uzbekistan

[POPULER TREN] Tanda Tubuh Kelebihan Gula | Kekuatan Timnas Uzbekistan

Tren
7 Mata Uang dengan Nilai Paling Lemah di Dunia, Indonesia di Urutan Kelima

7 Mata Uang dengan Nilai Paling Lemah di Dunia, Indonesia di Urutan Kelima

Tren
Sejarah Head to Head Indonesia Vs Uzbekistan, 6 Kali Bertemu dan Belum Pernah Menang

Sejarah Head to Head Indonesia Vs Uzbekistan, 6 Kali Bertemu dan Belum Pernah Menang

Tren
Shin Tae-yong, Dulu Jegal Indonesia di Piala Asia, Kini Singkirkan Korea Selatan

Shin Tae-yong, Dulu Jegal Indonesia di Piala Asia, Kini Singkirkan Korea Selatan

Tren
Alasan Anda Tidak Boleh Melihat Langsung ke Arah Gerhana Matahari, Ini Bahayanya

Alasan Anda Tidak Boleh Melihat Langsung ke Arah Gerhana Matahari, Ini Bahayanya

Tren
Jejak Karya Joko Pinurbo, Merakit Celana dan Menyuguhkan Khong Guan

Jejak Karya Joko Pinurbo, Merakit Celana dan Menyuguhkan Khong Guan

Tren
10 Hewan Endemik yang Hanya Ada di Indonesia, Ada Spesies Burung hingga Monyet

10 Hewan Endemik yang Hanya Ada di Indonesia, Ada Spesies Burung hingga Monyet

Tren
Kemendikbud Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris untuk SD, Pakar Pendidikan: Bukan Menghafal 'Grammar'

Kemendikbud Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris untuk SD, Pakar Pendidikan: Bukan Menghafal "Grammar"

Tren
Semifinal Piala Asia U23 Indonesia Vs Uzbekistan Tanpa Rafael Struick, Ini Kata Asisten Pelatih Timnas

Semifinal Piala Asia U23 Indonesia Vs Uzbekistan Tanpa Rafael Struick, Ini Kata Asisten Pelatih Timnas

Tren
Gempa M 4,8 Guncang Banten, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

Gempa M 4,8 Guncang Banten, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

Tren
Soal Warung Madura Diimbau Tak Buka 24 Jam, Sosiolog: Ada Sejarah Tersendiri

Soal Warung Madura Diimbau Tak Buka 24 Jam, Sosiolog: Ada Sejarah Tersendiri

Tren
Kapan Pertandingan Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23 2024?

Kapan Pertandingan Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23 2024?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com