KOMPAS.com - Lubang buaya merupakan area yang menjadi tempat pembuangan tujuh jasad Pahlawan Revolusi saat peristiwa G30S/PKI tahun 1965.
Lubang Buaya terletak di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Pada peristiwa G30S/PKI, ketujuh Pahlawan Revolusi diculik, dibunuh, dan dibuang di Lubang Buaya karena menjadi korban isu adanya Dewan Jenderal yang disebut ingin mengkudeta Presiden Sukarno.
Baca juga: Di Mana Sukarno dan Soeharto Saat Peristiwa G30S/PKI?
Dikutip dari Kompas.com (30/9/2021), ada dua versi yang beredar di masyarakat terkait penamaan wilayah Lubang Buaya tersebut.
Berikut dua versi asal-usul nama Lubang Buaya:
Kasubsi Bimbingan dan Informasi Monumen Pancasila Sakti Mayor Caj Edy Bawono mengatakan, tak jauh dari sumur pembuangan jasad 7 Pahlawan Revolusi, terdapat sebuah sungai yang bernama Sunter.
Dahulunya, Sungai Sunter dikenal berbahaya karena banyak buaya yang berkeliaran di sana.
Buaya tersebut sering membuat lubang untuk bersembunyi. Sehingga, wilayah tersebut dinamai Lubang Buaya.
Baca juga: Mengenal Dewan Jenderal, Hoaks yang Memicu Peristiwa G30S PKI
Penamaan Lubang Buaya dicetuskan oleh seorang sakti bernama Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah yang hingga saat ini menjadi legenda.
Keturunan kesembilan dari Datuk Banjir, Yanto Wijoyo mengatakan, leluhurnya itu melakukan perjalanan ke Jakarta pada abad ke-7.
Saat itu, Datuk Banjir melakukan perjalanan melalui Sungai Sunter dengan mengendarai kendaraan dari bambu yang disebut getek.
Getek Datuk Banjir itu tersedot ke dalam lubang hingga menyentuh bagian dasar Sungai Sunter di tengah perjalanan.
Namun, Datuk Banjir sendiri selamat karena tak ikut terseret ke lubang itu.
Menurut Yanto, ini merupakan ulah ular dari penguasa gaib yang ada di sungai tersebut, yakni seekor buaya putih.
Konon, buaya putih tersebut bernama Pangeran Gagak Jakalumayung.