KOMPAS.com - Rebo Wekasan merupakan sebuah tradisi yang dilakukan setiap hari Rabu pada bulan Safar dalam kalender Islam atau Hijriah.
Adapun Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriah, atau tepatnya setelah Muharam atau sebelum Rabi’ul Awal.
Kegiatan pada Rebo Wekasan meliputi tahlilan atau zikir berjamaah, shalat sunah, dan berbagai makanan dalam bentuk selamatan.
Baca juga: Sejarah dan Asal Mula Rebo Wekasan yang Jatuh pada 21 September 2022
Baca juga: Apa Itu Sekaten yang Diadakan untuk Peringati Maulid Nabi Muhammad?
Lalu, bagaimana asal-usul dan tradisinya di berbagai daerah?
Dikutip dari Kompas.com (17/2/2022), tradisi Rebo Wekasan pertama kali diadakan pada masa Wali Songo.
Saat itu, banyak ulama yang menyebutkan bahwa pada bulan Safar, Allah SWT menurunkan lebih dari 500 macam penyakit.
Sebagai antisipasinya, para ulama kemudian melakukan tirakat dengan banyak beribadah dan berdoa.
Diharapkan dengan melakukan hal tersebut, Allah SWT menjauhkan mereka dari segala penyakit dan malapetaka.
Hingga kini, tradisi tersebut masih dilestarikan di berbagai daerah di Indonesia.
Sementara itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa tradisi Rebo Wekasan muncul pada awal abad ke-17 di Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.
Informasi selengkapnya soal sejarah Rebo Wekasan dapat disimak di sini.
Baca juga: Sekaten Solo 2023: Jadwal, Lokasi, dan Rangkaian Acaranya...
Dilansir dari Kompas.com (20/9/2022), berikut sejumlah tradisi di sejumlah daerah yang memiliki cara dan sebutan berbeda-beda:
Rebo Wekasan dikenal juga sebagai Rebo Pungkasan oleh Masyarakat Desa Wonokromo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Konon, hari Rabu terakhir bulan Safar merupakan hari pertemuan antara Sri Sultan Hambengkubuwono (HB) I dengan Mbah Kiai Faqih Usman.
Mbah Kiai Faqih Usman dikenal bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.
Dahulu, upacara Rebo Pungkasan berada di tempuran Kali Opak dan Gajahwong.
Namun, kemudian dipindahkan ke Lapangan Wonokromo yang terletak di depan Balai Desa Wonokromo.
Puncak acara Rebo Wekasan di Desa Wonokromo biasanya dilakukan pada malam Rabu dengan mengarak lemper raksasa yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada para pengunjung.
Baca juga: Arti Malam Satu Suro, Makna, dan Tradisinya...
Pada masyarakat Aceh Barat dan Aceh Selatan, Rabu Wekasan dikenal sebagai Rabu Abeh yang berguna untuk menolak bala.
Tradisi ini mulanya dilakukan dengan memotong kerbau dan membuang bagian kepalanya ke laut. Hal itu dilakukan untuk menolak bala atau bencana.
Namun saat ini, tradisi tersebut kemudian diganti dengan pembacaan shalawat, zikir, dan doa.
Baca juga: Arti Kata Pengemis dan Sejarahnya, Berasal dari Tradisi Raja Keraton Surakarta
Kampung Karundang Tengah, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang mempunyai tradisi bernama Dudus atau mandi kembang tujuh rupa yang sudah ada sejak masa Kesultanan Banten.
Tradisi ini dilaksanakan dengan diikuti tradisi sedekah Bumi pada malam Rabu terakhir bulan Safar.
Sebelum tradisi Dudus dilakukan, masyarakat terlebih dahulu melaksanakan shalat dan riungan.
Adapun tujuan dari tradisi ini yakni agar diberi panjang umur, sehat, banyak rezeki, terhindar dari bahaya, dekat jodoh, dan lain sebagainya.
Masyarakat di Desa Suci, Kecamatan Manyar, Gresik juga mempertahankan Rebo Wekasan hingga saat ini.
Perayaan Rebo Wekasan di desa tersebut dilakukan dengan sedekah Bumi berupa kegiatan doa bersama dan selamatan.
Adapun tradisi Rebo Wekasan dilakukan di sekitar Telaga Suci atau sendang dekat Masjid Mambaul Thoat.
Baca juga: Mengenal Tradisi Cit Gwee, Bukan Cuma Rebutan Sembako
Masyarakat di sekitar Pantai Waru Doyong, Banyuwangi merayakan Rebo Wekasan dengan tradisi Petik Laut.
Petik Laut dilaksanakan dengan cara menyelenggarakan doa bersama yang diikuti dengan ritual melarung sesaji yang diletakkan dalam sebuah kapal kecil ke tengah laut.
Tradisi doa dan Petik Laut ini dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai cara untuk menolak musibah.
Masyarakat Kalimantan Selatan mengenal tradisi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar sebagai Arba Mustamir.
Arba Mustamir merupakan kalimat dari bahasa Arab, artinya adalah Rabu Berkelanjutan.
Tradisi ini dilaksanakan dengan berbagai cara, mulai dari pelaksanaan shalat sunah hinga membaca ayat suci dan doa-doa secara berjamaah.
Masyarakat di Negeri Hitu Lama, Kabupaten Maluku Tengah merayakan Rebo Wekasan dengan tradisi Mandi Safar.
Masyarakat masih meyakini bahwa ritual Mandi Safar akan mendatangkan keselamatan dan menghindarkan dari marabahaya atau musibah dan sudah ada sejak ratusan tahun silam.
Dalam pelaksanaannya, ada beberapa rangkaian acara seperti doa bersama, membuat panganan berupa lamet, dan ditutup dengan pelaksanaan mandi di pantai.
Baca juga: Mitos Tidak Boleh Keluar Saat Malam Satu Suro Bertentangan dengan Tradisi Keraton, Apa Sebabnya?
(Sumber: Kompas.com/Diva Lufiana Putri, Lukman Hadi Subroto | Editor: Widya Lestari Ningsih, Puspasari Setyaningrum, Sari Hardiyanto)